Ketua DPRD Kaltim Hasanuddin Mas’ud Dorong Reformasi Fiskal Hadapi Penurunan APBD 2026

Eksistensi.id, Samarinda — Ancaman penurunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Kalimantan Timur pada 2026 menjadi alarm serius bagi seluruh pemangku kebijakan. Proyeksi turunnya pendapatan daerah dari kisaran Rp20 triliun menjadi Rp18 triliun bukan sekadar soal defisit, tetapi sinyal perlunya lompatan strategi fiskal yang lebih adaptif dan berkelanjutan.

Ketua DPRD Kaltim, Hasanuddin Mas’ud, menyebut situasi ini sebagai momentum untuk membenahi cara pandang dan praktik pengelolaan keuangan daerah yang selama ini terlalu bergantung pada Dana Bagi Hasil (DBH) dari sektor sumber daya alam.

“Kita tidak cukup hanya menyesuaikan angka. Ini saatnya mereformulasi struktur anggaran kita. Menurunnya DBH ini bukan masalah teknis semata, tapi tantangan struktural,” kata Hasanuddin, Minggu (29/6/25).

Ia menggarisbawahi bahwa dampak dari penurunan ini tidak berhenti di tingkat provinsi. Sebanyak 10 kabupaten/kota di Kaltim juga akan terdampak, terutama karena sebagian besar belanja mereka masih bersumber dari transfer APBD provinsi.

Di tengah keterbatasan tersebut, Hasanuddin menekankan pentingnya efisiensi yang tidak bersifat pemangkasan membabi buta. Menurutnya, sektor-sektor vital seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar tetap harus menjadi prioritas.

“Belanja harus efisien, tapi tidak mengorbankan layanan dasar publik. Efisiensi bukan berarti memangkas secara acak,” tegasnya.

Sebagai alternatif, ia mendorong optimalisasi aset daerah dan memperkuat kinerja Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) agar tidak hanya bergantung pada pendapatan migas. Sektor-sektor non-migas seperti pertanian, pariwisata, ekonomi kreatif, dan jasa disebutnya sebagai jalur baru untuk memperluas basis pendapatan asli daerah (PAD).

“Kalau kita serius mengelola aset dan BUMD, ada potensi besar di situ. Jangan sampai aset hanya tercatat di neraca, tapi tidak menghasilkan apa-apa,” ujarnya.

Hasanuddin juga mendorong penggunaan aset pemerintah untuk keperluan internal guna menekan biaya operasional. Ia menilai, upaya-upaya ini bisa menjadi langkah konkret untuk menjaga stabilitas fiskal tanpa mengorbankan arah pembangunan jangka panjang.

Lebih jauh, ia menyebut kondisi ini sebagai ujian kecerdasan fiskal bagi para pengambil kebijakan di daerah. Menurutnya, krisis anggaran bisa menjadi peluang untuk mendorong inovasi dan konsolidasi dalam sistem tata kelola keuangan publik.

“Ini bukan semata soal bertahan. Ini kesempatan untuk membuktikan bahwa kita mampu beradaptasi dan bertransformasi. APBD bukan hanya dokumen keuangan, tapi juga cerminan visi pembangunan kita,” pungkasnya.(ADV)