Eksistensi.id, Samarinda – Lambannya penanganan longsor di area inlet Terowongan Selili menuai sorotan tajam dari Komisi III DPRD Samarinda.
Namun lebih dari sekadar menyalahkan pelaksana proyek, DPRD menilai lemahnya sistem pengawasan turut menjadi biang keladi berlarut-larutnya penyelesaian persoalan tersebut.
Anggota Komisi III, Abdul Rohim, menilai bahwa ketidaksiapan menghadapi risiko, seperti longsor, menunjukkan adanya kekosongan koordinasi antara kontraktor, pengawas, dan perencana proyek.
Ia menekankan bahwa sistem pengawasan dan mitigasi risiko seharusnya berjalan sejak tahap awal pengerjaan.
“Kalau alasan cuaca dijadikan tameng, berarti sejak awal manajemen risiko dalam proyek ini tidak disiapkan dengan matang. Ini bukan semata kesalahan kontraktor, tetapi juga cerminan lemahnya pengawasan yang seharusnya bersifat preventif,” kata Rohim, Senin (14/07/2025).
Ia juga menyinggung kurangnya transparansi dalam laporan progres proyek kepada publik.
Menurutnya, ketika masyarakat hanya melihat bertambahnya kerusakan tanpa informasi resmi dan terbuka, wajar jika muncul keresahan dan ketidakpercayaan terhadap pelaksana pembangunan.
Karena itu, DPRD meminta agar ke depan setiap proyek strategis di Samarinda disertai dengan sistem pengawasan berlapis yang melibatkan instansi teknis, konsultan independen, hingga pelibatan masyarakat sekitar lokasi.
“Kami ingin bukan hanya kontraktor yang hadir dalam evaluasi lanjutan, tapi juga pengawas proyek dan tim perencana. Ini penting agar kita bisa tahu di mana titik lemahnya dan tidak terus-menerus mengulang kesalahan yang sama,” ujarnya.
DPRD Samarinda juga mendesak agar pemerintah kota memperketat standar kualitas pelaksanaan infrastruktur publik dengan menekankan pentingnya audit teknis secara berkala.
“Proyek-proyek bernilai besar tak hanya dituntut selesai tepat waktu, tapi juga harus aman, transparan, dan berkelanjutan,” tandasnya.(ADV)
Penulis: Nurfa | Editor: Redaksi