Eksistensi.id, Samarinda– Ketimpangan fiskal akibat tak adanya pembagian Dana Bagi Hasil (DBH) dari sektor tambang terus menjadi sorotan di Kalimantan Timur (Kaltim).
DPRD Kaltim menyatakan kekesalan mereka terhadap minimnya perhatian pemerintah pusat atas kontribusi besar daerah penghasil terhadap kas negara, tanpa adanya alokasi balik yang setimpal.
Anggota Komisi II DPRD Kaltim, Firnadi Ikhsan, menyebut kondisi ini sudah memasuki fase darurat keadilan fiskal.
Ia menilai, selama ini Kaltim hanya menjadi “sapi perah” nasional tanpa mendapatkan hak balik atas sumber daya yang telah dikuras dari bumi Borneo.
“Bagaimana mungkin dari Rp32,68 triliun penerimaan nasional dari Penjualan Hasil Tambang (PHT) tahun 2024, sebesar Rp18,52 triliunnya disumbang Kaltim, tapi tidak satu rupiah pun dikembalikan ke daerah? Ini jelas ketimpangan yang akut,” tegas Firnadi, Kamis (24/7/25).
Lebih jauh, ia mengungkap bahwa hal serupa juga terjadi di sektor kehutanan. Dari Rp3,21 triliun Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) penggunaan kawasan hutan nasional, Rp1,9 triliun berasal dari Kaltim. Lagi-lagi, nihil alokasi untuk daerah.
Firnadi menyebut, bukan sekadar soal dana, tetapi soal keadilan struktural dan pengakuan hak konstitusional rakyat Kaltim atas sumber daya alam yang mereka miliki.
DPRD Kaltim kini secara tegas berdiri di belakang Gubernur Kaltim, Rudy Mas’ud, yang gencar mendorong pemerintah pusat untuk merevisi kebijakan pembagian hasil tambang, sebagaimana yang sudah diterapkan pada sektor sawit lewat PP Nomor 38 Tahun 2023.
“Gubernur punya keberanian politik, dan DPRD mendukung penuh. Ini soal kedaulatan fiskal. Kalau tidak kita desak sekarang, kita akan terus menjadi korban sistem,” ujarnya.
Firnadi menegaskan DPRD akan mendorong pembahasan lintas kementerian, khususnya Kementerian ESDM dan Kementerian Keuangan, untuk segera merumuskan formula DBH dari sektor tambang dan kehutanan.
“Momentum ini penting. Kalau pusat masih abai, maka wajar jika daerah mempertanyakan ulang komitmen pemerintah terhadap keadilan desentralisasi fiskal,” tegas Firnadi.
Gerakan kolektif DPRD dan Pemprov ini diharapkan menjadi tekanan politik yang kuat agar pemerintah pusat membuka mata terhadap ketimpangan struktural yang selama ini dialami daerah penghasil seperti Kaltim.(ADV DPRD KALTIM)