Eksistensi.id, Samarinda – Ketua Komisi III DPRD Kalimantan Timur (Kaltim), Abdulloh, menegaskan bahwa pokok-pokok pikiran (pokir) merupakan instrumen resmi dalam perencanaan pembangunan daerah.
Menurutnya, keberadaan pokir tidak bisa dipisahkan dari Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) karena telah diatur dalam perundang-undangan.
“Pokir DPRD itu bukan sesuatu yang dilarang. Justru menjadi amanat undang-undang. Aspirasi dari masyarakat yang kami terima saat reses disatukan dengan program pemerintah agar berjalan sebagai program bersama antara legislatif dan eksekutif,” ujarnya.
Abdulloh menjelaskan, mekanisme pokir memiliki kedudukan sejajar dengan musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang).
Bedanya, jika musrenbang dilakukan pemerintah daerah dari tingkat kabupaten/kota hingga provinsi, maka pokir dihimpun DPRD melalui berbagai forum, seperti reses, rapat dengar pendapat, kunjungan kerja, hingga pertemuan langsung dengan warga.
“Pokir itu bagian dari RKPD. Jadi posisinya sama pentingnya dengan musrenbang, hanya jalurnya berbeda. Pemerintah menyerap aspirasi lewat musrenbang, sementara DPRD melalui reses dan forum lain bersama masyarakat,” jelasnya.
Meski begitu, Abdulloh mengaku tidak bisa membandingkan jumlah pokir yang ada saat ini dengan periode sebelumnya.
“Saya ini masih baru, jadi tidak tahu perbandingan jumlahnya. Yang pasti, pokir tetap berjalan sesuai aturan,” katanya.
Ia juga menegaskan, selama dasar hukumnya masih berlaku, pokir akan selalu menjadi bagian dari penyusunan anggaran, baik pada APBD Perubahan 2025 maupun APBD Murni 2026.
“Pokir itu wujud aspirasi masyarakat. Bentuknya bisa program maupun anggaran, tentu tetap disesuaikan dengan kemampuan keuangan daerah,” tambahnya.
Melalui mekanisme tersebut, DPRD Kaltim berharap seluruh usulan dari masyarakat dapat terakomodasi dalam pembangunan daerah.
“Sinergi antara legislatif dan eksekutif merupakan kunci agar program pembangunan berjalan efektif dan menyentuh kebutuhan warga,” tandasnya.(ADV)