Teks : Kepala Desa Sumber Sari, Sutarno
Eksistensi.id.Kukar – Desa Sumber Sari di Kecamatan Loa Kulu, Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar), terus mengukuhkan diri sebagai salah satu lumbung padi terkuat di wilayah Kukar. Dengan luas lahan produktif mencapai 318 hektare, desa ini mampu melakukan dua kali panen dalam setahun, menghasilkan total produksi sekitar 1.000 ton gabah per musim.
Capaian tersebut tidak hanya menggerakkan roda ekonomi desa, tetapi juga memperlihatkan ketahanan pangan lokal yang kuat.
Kepala Desa Sumber Sari, Sutarno, menjelaskan produktivitas rata-rata mencapai 4,5 ton per hektare. Jika dikalkulasikan dengan harga pasaran gabah sebesar Rp300.000 per kuintal, nilai ekonomi yang dihasilkan masyarakat setiap musim panen bisa mencapai miliaran rupiah.
“Dengan harga pasaran Rp300.000 per kuintal, nilai ekonomi panen kami sangat signifikan. Inilah yang menjadi tulang punggung perekonomian warga,” ujarnya pada Kamis (25/9/2025).
Budaya agraris yang mengakar membuat warga terbiasa mengelola hasil panennya secara mandiri. Tercatat ada tujuh unit penggilingan padi pribadi yang dimiliki warga dan beroperasi di desa tersebut. Mekanisme ini memberi ruang bagi petani untuk menggiling hasil panen menjadi beras sekaligus memasarkannya langsung ke konsumen.
“Petani kita sudah terbiasa menjual langsung di pasar mingguan atau pasar malam di Tenggarong. Dengan harga beras mencapai Rp15.000 per kilogram, margin keuntungan lebih terasa dibanding hanya menjual gabah,” jelasnya.
Meski demikian, tantangan tetap ada. Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Sumber Sari belum sepenuhnya mengambil peran dalam rantai distribusi pertanian karena pola lama yang sudah terbentuk antara petani dengan tengkulak maupun jaringan pasar individu.
Upaya memperluas peran BUMDes terus digagas, terutama dalam pengolahan hasil pertanian menjadi produk turunan seperti beras kemasan premium, keripik beras, hingga produk olahan berbasis pangan lokal.
Menurut Sutarno, tantangan terbesar saat ini adalah mengorganisasi penjualan secara kolektif agar nilai ekonomi desa lebih maksimal.
“Kami ingin BUMDes bisa mengambil peran lebih besar. Tetapi kendala budaya dan jaringan tengkulak yang sudah mengakar membuatnya sulit. Ke depan, ini harus kita atasi dengan pendekatan bertahap agar desa semakin sejahtera,” pungkasnya.(adv)