Eksistensi.id, Samarinda — Di tengah dominasi korporasi besar dalam industri transportasi daring, suara berbeda datang dari parlemen daerah. Anggota Komisi II DPRD Kalimantan Timur (Kaltim), Abdul Giaz, mengajak publik untuk membayangkan ulang wajah layanan digital di sektor transportasi yang bukan hanya efisien, tetapi juga berpihak.
Baginya, sudah saatnya Kaltim memiliki platform transportasi daring yang dirancang oleh daerah, dimiliki oleh masyarakat, dan dikelola untuk kepentingan bersama.
“Selama ini kita hanya jadi pasar, hanya jadi konsumen. Padahal kita bisa jadi pemilik. Kita bisa buat sistem sendiri yang keuntungannya kembali ke warga, bukan ke luar negeri,” tegasnya, Minggu (29/6/25).
Menurut Giaz, terlalu lama warga hanya menjadi pengguna atau mitra pengemudi dalam ekosistem yang dibangun dan dikendalikan oleh perusahaan besar. Padahal dengan kolaborasi antara pemerintah daerah, komunitas teknologi lokal, dan pelaku usaha mikro, Kaltim berpeluang menciptakan sistem transportasi digital berbasis kearifan lokal.
Ia menawarkan gagasan transportasi digital berbasis koperasi digital, di mana pengemudi, konsumen, dan pengembang bisa menjadi pemilik saham bersama.
“Kalau kita buat platform sendiri, pengemudinya bukan hanya bekerja, tapi punya saham. Penumpang juga bisa dapat insentif. Ini soal pemerataan ekonomi digital,” tuturnya.
Bagi Giaz, digitalisasi seharusnya bukan pintu menuju ketimpangan baru, tapi alat demokratisasi ekonomi. Ia menyebut model korporasi besar selama ini cenderung menumpuk keuntungan di satu titik, meninggalkan pelaku lokal hanya sebagai ‘tulang punggung’ tanpa kedaulatan.
“Jangan sampai kita hanya jadi tenaga kerja murah di sistem digital yang tidak kita miliki. Kita harus jadi penggerak, bukan sekadar penumpang,” ujarnya.
Lebih dari sekadar inovasi, Giaz menilai gagasan ini adalah bentuk kedaulatan digital daerah. Dengan mengelola sistemnya sendiri, Kaltim bisa merancang kebijakan tarif, rute, hingga sistem insentif yang sesuai dengan karakteristik dan kebutuhan masyarakat setempat.
Ia juga menekankan bahwa daerah harus berani memayungi ide seperti ini lewat regulasi dan insentif anggaran. Ia menyebut, jika dikelola secara serius, platform transportasi lokal ini juga bisa membuka ruang kerja baru di sektor teknologi dan memberdayakan pelaku UMKM.
“Ini bukan ide utopis. Sudah ada beberapa daerah dan komunitas yang memulainya. Pertanyaannya: apakah kita mau tetap jadi penonton, atau mulai jadi pemain?” tutupnya.(ADV)