Eksistensi.id, Samarinda — Di balik dominasi Kalimantan Timur (Kaltim) sebagai penyumbang utama ekonomi regional Kalimantan, masih tersembunyi persoalan serius yang tak boleh diabaikan: ketimpangan sosial dan pengangguran.
Hal ini diangkat oleh Andi Muhammad Afif Raihan Harun, anggota Komisi II DPRD Kaltim. Ia menyoroti paradoks antara besarnya kontribusi ekonomi Kaltim yang menyentuh 48,4 persen dari total PDRB Kalimantan dengan fakta bahwa ribuan warganya masih hidup dalam garis kemiskinan dan kesenjangan ekonomi yang nyata.
“Ini bukan sekadar angka. Kita bicara soal realitas sosial yang timpang. Kaltim kaya sumber daya, tapi keadilan distribusi manfaat belum tercipta,” tegas politisi Fraksi Gerindra itu, Senin. (30/6/25).
Berdasarkan data yang ia sampaikan, jumlah penduduk miskin Kaltim masih berada di angka 221.340 jiwa, meskipun secara persentase menurun dari 6,11 persen menjadi 5,78 persen. Sementara tingkat pengangguran terbuka tercatat 5,14 persen lebih tinggi dari rerata nasional yang berada di 4,91 persen.
Afif menganggap kondisi ini sebagai sinyal bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi belum mampu menjangkau seluruh kelompok masyarakat secara merata.
“Pertanyaannya sederhana: pembangunan ini untuk siapa? Jika mayoritas rakyat belum merasakan, maka arah kebijakan perlu dikoreksi,” ujarnya.
Di sisi lain, Afif turut mengkritisi lemahnya pencapaian pendapatan daerah dari sektor “lain-lain pendapatan sah”, yang realisasinya hanya menyentuh 72,2 persen dari target Rp202,4 miliar. Ia menilai BUMD yang tidak memberikan kontribusi signifikan perlu ditinjau ulang.
“BUMD seharusnya menjadi tulang punggung daerah. Kalau tidak maksimal, ya harus ada evaluasi, termasuk pergantian manajemen,” katanya.
Tak hanya itu, ia juga menyorot pelaksanaan program perbaikan rumah tidak layak huni (RTLH) dan peningkatan kualitas guru yang dinilai belum menjangkau sasaran secara luas.
Ia meminta pemerintah untuk membuka data jumlah rumah yang telah diperbaiki, baik oleh APBD maupun kontribusi perusahaan melalui program CSR.
Terkait SiLPA (Sisa Lebih Perhitungan Anggaran) yang mencapai Rp2,597 triliun, Afif menganggapnya sebagai bukti masih lemahnya realisasi belanja yang justru seharusnya bisa menjadi stimulus ekonomi.
“Uang yang tidak dibelanjakan sama dengan peluang yang terlewat. SiLPA besar itu alarm bahwa eksekusi anggaran masih lambat,” katanya.
Afif juga mendorong agar pemanfaatan hasil riset lokal bisa dijadikan dasar kebijakan. Kolaborasi dengan universitas dan lembaga penelitian menurutnya penting untuk memperkuat kebijakan yang berbasis data dan kebutuhan riil daerah.
“Ilmu dari kampus jangan berhenti di jurnal. Harus bisa turun jadi solusi di masyarakat,” pungkasnya.(ADV)