Eksistensi.id, Samarinda – Pendidikan dan politik tidak boleh dipisahkan dalam merumuskan arah masa depan daerah. Keduanya adalah pilar yang saling menopang dan menentukan kualitas kehidupan masyarakat secara menyeluruh.
Hal itu ditegaskan Anggota DPRD Kalimantan Timur, Agusriansyah Ridwan. Baginya, kesenjangan pendidikan yang masih terjadi saat ini adalah cerminan dari desain kebijakan yang tidak berpijak pada keadilan sosial.
Ia menyoroti kebijakan pendirian sekolah unggulan sebagai bentuk pendekatan elitis yang mempertegas jurang antara siswa dari keluarga mampu dan tidak mampu.
“Intinya bukan pada label unggulan atau tidak, tapi bagaimana seluruh anak bangsa bisa mendapat akses pendidikan yang setara. Biar tidak ada kesenjangan, cukup buat asrama, makanan bergizi, dan fasilitas memadai di semua sekolah. Itu yang lebih adil,” ujarnya, Rabu (9/7/25).
Lebih dari itu, ia mengingatkan bahwa pendidikan jangan dijadikan alat pencitraan politik atau sekadar bagian dari siklus kebijakan jangka pendek.
Menurutnya, jika pendidikan hanya dibentuk berdasarkan kepentingan politik lima tahunan, maka cita-cita membangun sumber daya manusia yang unggul akan sulit tercapai.
“Dasar utama kita bukan isu politik, tapi keadilan, pemerataan, dan keberlanjutan. Baru setelah itu kita bicara soal kebijakan politik. Kalau dibalik, yang lahir justru ketimpangan,” kata politisi dari Fraksi PKS itu.
Agusriansyah juga mengaitkan pentingnya pendidikan dengan kesadaran politik masyarakat. Menurutnya, pembebasan melalui pendidikan harus dibarengi dengan pendidikan politik yang membangun daya kritis dan keberanian masyarakat untuk mengoreksi arah kekuasaan.
“Kita tidak bisa bicara pendidikan tanpa membangun kesadaran politik rakyat. Dua hal ini harus berjalan bersama. Kalau kita ingin kebijakan yang relevan, maka masyarakatnya juga harus sadar dan terlibat aktif,” tegasnya.
Ia menjelaskan bahwa dalam sistem demokrasi, masyarakat sipil seperti mahasiswa, pelajar, jurnalis, dan LSM adalah bagian dari infrastruktur politik yang sangat penting. Peran mereka bukan hanya sebagai pengamat, tetapi sebagai penggerak perubahan.
“Mahasiswa, pelajar, wartawan, semua ini adalah bagian dari infrastruktur politik. Mereka penentu arah, bukan pelengkap. Maka edukasi politik harus terus digerakkan dari bawah,” ujarnya.
Agusriansyah menegaskan bahwa keadilan pendidikan dan kesadaran politik adalah dua sisi dari satu perjuangan. Jika ingin membangun masa depan daerah yang inklusif, pemerintah dan masyarakat tidak bisa memilih salah satunya saja.
“Kita tidak bisa membangun masa depan hanya dengan sekolah yang bagus, tapi warganya tidak paham politik. Begitu juga sebaliknya. Keduanya harus saling menguatkan,” tutupnya.(ADV)
Penulis : Nurfa | Editor: Redaksi