Eksistensi.id, Samarinda – Tingginya angka anak tidak sekolah di Kutai Timur bukan sekadar persoalan statistik, tetapi sinyal keras tentang masa depan daerah yang terancam jika akses pendidikan tidak segera dibenahi.
Hal itu disampaikan Anggota Komisi IV DPRD Kaltim, Agusriansyah Ridwan, yang menegaskan bahwa pendidikan adalah pondasi pembangunan daerah.
“Pendidikan adalah pondasi. Kalau kita gagal memastikan anak-anak kita bisa sekolah, maka kita sedang gagal membangun masa depan daerah ini,” tegas Agusriansyah, Rabu (9/7/25).
Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan per 10 Maret 2025 mencatat Kutai Timur sebagai daerah dengan jumlah anak tidak sekolah tertinggi di Kalimantan Timur. Sebanyak 9.945 anak belum pernah bersekolah, 1.996 anak putus sekolah, dan 1.470 anak lulus namun tidak melanjutkan pendidikan.
Temuan itu memicu keprihatinan mendalam dari Agusriansyah, yang juga merupakan legislator daerah pemilihan Kutim.
Ia menyebut kondisi ini sebagai darurat pendidikan dan mendesak Pemkab Kutim untuk melakukan verifikasi data serta menyusun langkah intervensi yang berbasis bukti.
“Kita tidak bisa membuat kebijakan tanpa basis data yang akurat. Harus ada sistem informasi pendidikan dan ketenagakerjaan yang bisa diandalkan. Kalau perlu, bentuk tim independen untuk meneliti kenapa angka ini begitu tinggi,” ujarnya.
Ia juga menyoroti faktor sosial dan geografis yang kerap menjadi penghambat. Banyak anak usia sekolah di daerah terpencil terpaksa berhenti belajar karena sekolah yang terlalu jauh, minimnya infrastruktur, atau bahkan sudah bekerja membantu keluarga.
“Kadang kita bilang sekolah gratis, tapi ongkos menuju sekolah lebih mahal dari biaya sekolah itu sendiri. Pemerintah harus hadir menyelesaikan hambatan ini, terutama di wilayah 3T,” ungkapnya.
Menurutnya, perbaikan akses pendidikan harus dilakukan secara menyeluruh, tidak hanya membangun fisik sekolah, tapi juga menciptakan ekosistem pendidikan yang relevan dengan konteks lokal.
Agusriansyah menyarankan agar orientasi pendidikan di Kutim diarahkan pada pemberdayaan potensi daerah dan kearifan lokal, sehingga lulusan bisa langsung berkontribusi pada pembangunan ekonomi dan sosial wilayahnya.
Ia juga berharap Pemkab Kutim tidak hanya mengandalkan data dari pusat seperti BPS atau Kemendikbud, melainkan membangun sistem data tersendiri yang bisa digunakan sebagai pembanding dan dasar pengambilan kebijakan yang lebih responsif.
“Jangan sampai karena kita tidak tahu datanya, kita jadi tidak tahu apa yang harus dikerjakan. Anak-anak ini bukan angka. Mereka masa depan Kutai Timur,” pungkasnya.(ADV)
Penulis : Nurfa | Editor : Eka Mandiri