Eksistensi.id, Samarinda — Meski menyandang gelar sebagai Kota Layak Anak, kenyataan di lapangan menunjukkan masih banyak anak di Samarinda yang belum terlindungi secara utuh.
Salah satu ironi terbesar yang disoroti oleh Wakil Ketua Komisi IV DPRD Samarinda, Sri Puji Astuti, adalah terus terjadinya praktik pernikahan usia dini yang bahkan berlangsung secara diam-diam dan terselubung.
Dalam pandangannya, status kota layak anak tak seharusnya hanya menjadi citra normatif yang dipajang dalam dokumen-dokumen pemerintahan.
Lebih dari itu, status tersebut perlu dibuktikan lewat jaminan hak hidup, pendidikan, serta perlindungan terhadap seluruh anak tanpa terkecuali.
Sri Puji menilai bahwa lemahnya kontrol sosial dan hukum menjadi salah satu penyebab masih maraknya pernikahan dini.
Ia menyebut adanya keterlibatan penghulu tidak resmi yang kerap memfasilitasi pernikahan di bawah umur sebagai bukti bahwa praktik semacam ini tidak hanya berlangsung secara sosial, tetapi juga difasilitasi oleh pihak-pihak yang seharusnya tidak memiliki kewenangan.
“Di balik rumah-rumah warga, praktik nikah anak masih terjadi. Ini bukan isu sepele, ini adalah kegagalan kolektif dalam memastikan anak-anak bisa tumbuh tanpa tekanan sosial yang membebani usia mereka,” ujarnya, Rabu (18/6/25).
Lebih lanjut, Puji menjelaskan bahwa pernikahan dini berdampak langsung pada rendahnya tingkat partisipasi pendidikan. Banyak anak yang akhirnya putus sekolah karena terikat peran sebagai istri atau suami di usia yang seharusnya masih duduk di bangku sekolah.
Menurutnya, ini merupakan bentuk perampasan masa depan yang terjadi secara sistematis.
Ia menyayangkan masih banyak orang tua yang menganggap pendidikan cukup jika anak sudah bisa membaca dan menulis.
“Dalam masyarakat yang ideal, kata dia, pola pikir ini harus segera direvisi agar pendidikan dilihat sebagai proses panjang membentuk karakter dan daya saing generasi muda,” ujarnya.
Di sisi lain, Puji juga mencatat bahwa fasilitas penunjang anak di Samarinda belum merata. Di beberapa kelurahan, akses terhadap ruang bermain, tempat membaca, serta konseling untuk remaja nyaris tidak tersedia. Padahal, fasilitas semacam ini adalah indikator penting dalam menciptakan lingkungan yang mendukung tumbuh kembang anak secara holistik.
Sri Puji menyampaikan bahwa keberhasilan mewujudkan kota ramah anak tidak bisa hanya ditumpukan pada satu instansi.
“Ayo semua sektor mulai dari pendidikan, sosial, hingga penegakan hukum untuk terlibat aktif dalam memperkuat perlindungan anak di Samarinda,” tuturnya.
Meski demikian, ia tetap mengapresiasi sejumlah program pemerintah yang berjalan, seperti Kartu Identitas Anak dan penyediaan ruang anak di fasilitas publik.
Namun, menurutnya langkah-langkah tersebut masih perlu diperluas dan disempurnakan agar tidak hanya menyentuh kelompok tertentu, melainkan seluruh anak di berbagai lapisan masyarakat.
“Kita tidak bisa menutup mata dengan data dan fakta di lapangan. Jika pernikahan dini terus terjadi, jika anak-anak terus terpaksa keluar dari sekolah, maka ada yang salah dari cara kita membangun kota ini,” tandasnya.(ADV)
Penulis : Nurfa | Editor : Redaksi