Eksistensi.id, Samarinda – Ketua Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD Kalimantan Timur (Kaltim), Baharuddin Demmu, menegaskan bahwa program Sekolah Rakyat yang digulirkan pemerintah harus tetap berada pada jalur semangat awalnya: membuka akses pendidikan bagi masyarakat yang paling sulit dijangkau oleh sistem formal.
Pernyataan ini disampaikannya menyusul munculnya fakta bahwa lokasi Sekolah Rakyat yang telah berdiri di Kalimantan Timur justru terkonsentrasi di wilayah perkotaan, seperti Samarinda, Tenggarong, Penajam, dan Tanjung Redeb seluruhnya merupakan pusat pemerintahan.
Bagi Baharuddin, kondisi tersebut patut menjadi alarm bahwa pelaksanaan program ini berpotensi menyimpang dari misinya jika tidak segera dikoreksi.
“Sekolah Rakyat ini bukan sekadar label, tetapi misi. Kalau semangatnya membantu rakyat yang susah akses pendidikan, maka tempatnya jangan di kota terus. Itu sama saja kita ganti nama, tapi tidak menyentuh inti masalahnya,” ujarnya tegas, Jumat (11/7/25).
Sebagai anggota Komisi I DPRD Kaltim, Baharuddin menyampaikan bahwa esensi dari Sekolah Rakyat adalah hadir di wilayah pedalaman, kampung-kampung terpencil, dan daerah tertinggal yang selama ini belum tersentuh oleh pendidikan formal.
Ia menilai, tanpa kejelasan kriteria lokasi dan kelompok sasaran, program Sekolah Rakyat hanya akan menjadi formalitas yang gagal memenuhi tujuan awalnya.
“Kalau ini tidak diatur secara tegas, nanti Sekolah Rakyat bisa jadi proyek biasa, bukan solusi. Padahal semestinya ini jadi terobosan untuk menjangkau yang selama ini tertinggal,” ucapnya.
Baharuddin meminta agar pemerintah, baik pusat maupun provinsi, mengeluarkan pedoman teknis yang jelas terkait pelaksanaan Sekolah Rakyat, termasuk penentuan wilayah prioritas, basis data calon peserta didik, dan evaluasi keberhasilan program.
Ia menyebut bahwa Bapemperda DPRD Kaltim siap terlibat penuh dalam pembentukan regulasi yang diperlukan, selama pelaksanaan program ini berpijak pada kebutuhan nyata masyarakat di lapangan.
“Kami di DPRD siap kalau diminta buatkan Perdanya, atau Pergub juga bisa. Tapi kami ingin program ini benar-benar menyasar rakyat, bukan jadi simbol semata,” tegasnya.
Ia juga mendorong keterlibatan aktif DPRD dalam proses penyusunan regulasi agar fungsi pengawasan bisa berjalan sejak tahap perencanaan, bukan hanya setelah program berjalan.
“Kalau dari awal kami ikut, maka bisa kita awasi bersama-sama. Jangan sampai nanti kita cuma diminta sahkan anggaran, tapi tidak tahu arahnya ke mana,” jelas Baharuddin.
Lebih jauh, ia mengingatkan bahwa penamaan “Sekolah Rakyat” memiliki makna filosofis yang tidak boleh direduksi menjadi sekadar label administratif. Nama tersebut membawa tanggung jawab moral agar program ini menjangkau mereka yang benar-benar memerlukan uluran tangan negara dalam dunia pendidikan.
“Bahasanya ‘sekolah rakyat’. Rakyat yang mana? Rakyat yang selama ini tertinggal, yang tidak mampu, yang tidak bisa ke sekolah karena jarak, biaya, atau akses. Kalau kita malah bikin di kota, ya buat apa?” pungkasnya.(ADV)
Penulis : Nurfa | Editor: Redaksi