Eksistensi.id, Samarinda — Masalah keterlambatan pencairan insentif bagi guru honorer swasta di Kalimantan Timur kembali mencuat. Namun, menurut Sekretaris Komisi IV DPRD Kaltim, Muhammad Darlis Pattalongi, persoalan ini tak hanya soal keterlambatan teknis semata, melainkan cerminan dari lemahnya sistem pendataan pendidikan secara menyeluruh.
Dalam pernyataannya, Darlis menekankan bahwa insentif merupakan hak mutlak yang harus diterima para guru honorer sebagai bentuk pengakuan atas jasa dan kontribusi mereka di dunia pendidikan.
“Ini bukan soal belas kasihan. Insentif adalah bentuk tanggung jawab negara terhadap mereka yang sudah mengabdi di ruang-ruang kelas tanpa pamrih,” tegasnya, Minggu (29/6/25).
Darlis menengarai bahwa hambatan utama berasal dari ketidaksinkronan data antara sekolah, dinas pendidikan daerah, hingga kementerian. Sistem Data Pokok Pendidikan (Dapodik), yang semestinya menjadi tulang punggung manajemen pendidikan nasional, justru sering menjadi titik lemah jika tidak diperbarui dan divalidasi dengan cermat.
“Penyaluran insentif itu sangat bergantung pada kelengkapan dan akurasi data. Kalau datanya tidak sinkron dari bawah ke atas, wajar jika pencairan menjadi molor,” jelasnya.
Ia menyebut bahwa kendala ini bukan hanya soal administrasi, tetapi menyangkut keberlangsungan hidup para guru yang pendapatannya terbatas.
“Para guru honorer swasta ini tidak punya cukup cadangan penghasilan. Jadi ketika insentif terlambat, dampaknya langsung terasa di dapur mereka,” ucap politisi asal PAN ini.
Oleh karena itu, Darlis mendesak agar Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) bersama Dinas Pendidikan Provinsi Kaltim memperkuat sistem pelaporan dan pembaruan data pendidikan.
“Sistem harus dibenahi dari hulu ke hilir. Kita butuh satu ekosistem data pendidikan yang tidak hanya terhubung, tapi juga responsif terhadap kebutuhan di lapangan,” paparnya.
Ia juga mendorong adanya monitoring berkala terhadap proses input data Dapodik di setiap sekolah, agar validitasnya bisa terjaga dan digunakan sebagai dasar dalam pengambilan kebijakan yang menyentuh langsung para tenaga pendidik.
“Jangan sampai ada guru yang sudah mengajar bertahun-tahun, tapi tidak menerima insentif hanya karena namanya tidak muncul di sistem. Itu tidak adil,” pungkas Darlis.(ADV)