Eksistensi.id, Samarinda – Dua isu besar menjadi sorotan serius Sekretaris Komisi IV DPRD Kalimantan Timur (Kaltim), Darlis Pattalongi mengungkapkan, lemahnya penegakan hukum dan krisis banjir yang terus menghantui Samarinda.
Melalui pengamatannya sebagai wakil rakyat sekaligus warga terdampak, Darlis menilai bahwa keduanya saling berkaitan dan mencerminkan kelemahan dalam tata kelola pemerintahan.
Ia menegaskan bahwa akar persoalan hukum di Indonesia bukan pada kurangnya aturan, tetapi pada lemahnya penegakan dan rendahnya integritas aparat.
“Negara kita terlalu banyak aturan. Tapi kalau tidak ditegakkan, semuanya percuma. Masalahnya bukan kekurangan orang pintar, tapi kekurangan orang pintar yang berintegritas,” ujarnya, Kamis (3/7/25).
Kritik itu ia kaitkan dengan contoh konkret di Samarinda, khususnya di ruas Jalan A.P.T. Pranoto yang sejak awal digagas sebagai kawasan percontohan tertib. Sayangnya, ketegasan untuk menertibkan pedagang kaki lima tidak kunjung terlihat.
Ia menyesalkan lambannya respons pemerintah terhadap kondisi yang awalnya masih bisa dikendalikan.
“Kalau dari awal sudah ditertibkan saat masih iseng-iseng jualan, masalah tak akan serumit sekarang. Tapi karena dibiarkan, mereka akhirnya bergantung hidup dari sana, dan kita jadi terjebak dilema kemanusiaan,” jelasnya.
Kekecewaan Darlis semakin dalam saat membahas banjir yang semakin parah melanda berbagai titik di Samarinda, termasuk rumah pribadinya.
Ia juga mengungkap bahwa rumahnya kini kembali terendam, meski telah ditinggikan 65 cm sejak empat tahun lalu.
“Saya tidak tahu harus dapat dana dari mana lagi untuk meninggikan rumah lebih tinggi,” ungkapnya.
Ia mengingatkan bahwa penanganan banjir bukan hal baru. Sejak periode 2009–2014, DPRD Kaltim bahkan sudah mengalokasikan anggaran sebesar Rp600 miliar dari APBD provinsi untuk penanganan banjir di Samarinda, khususnya wilayah Rapak Dalam yang dinilai paling rawan.
“Dulu saya sudah ingatkan, Rapak Dalam paling gawat. Dan sekarang terbukti, banjir di sana bisa bertahan tiga hari, tidak seperti di kota yang cepat surut,” paparnya.
Darlis menyebut tiga sungai utama yang harus jadi fokus penanganan Sungai Tambang Malang, Sungai Rapak Dalam, dan Sungai Patimura. Ia meyakini, jika ketiganya ditangani secara serius, dampak banjir bisa ditekan signifikan.
Namun sayangnya, situasi saat ini justru kian kompleks. Ia menyoroti maraknya pembangunan di bantaran sungai dan aktivitas penimbunan yang memperburuk aliran air.
Sebagai solusi, ia mendorong penerapan konsep rumah panggung yang mengadopsi kearifan lokal.
“Nenek moyang kita bangun rumah pakai tiang, bukan menimbun. Sekarang semua ditimbun tinggi-tinggi, jalan malah jadi langganan banjir,” ujarnya.
Ia telah meminta SMAN 4 Samarinda menjadi contoh dengan pembangunan berbasis tiang panggung demi menjaga daerah resapan. Menurutnya, meski membutuhkan biaya lebih besar, pendekatan ini lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Darlis juga menyampaikan bahwa penanganan banjir membutuhkan koordinasi lintas lembaga yang solid. Ia mengaku sudah berdiskusi langsung dengan Walikota Samarinda, namun mengakui adanya hambatan dalam sinergi antarpemerintah.
“Kami di provinsi tidak bisa mendorong proyek besar tanpa dukungan dan tandatangan dari pemerintah kota,” tutupnya.(ADV)
Penulis : Nurfa | Editor: Redaksi