Eksistensi.id, Samarinda — Anggota Komisi II DPRD Kalimantan Timur, Guntur, melontarkan kritik tajam terhadap kebijakan distribusi pupuk subsidi yang sepenuhnya dikendalikan pemerintah pusat.
Menurutnya, pendekatan yang bersifat sentralistik ini justru menjadi penghambat utama produktivitas sektor pertanian di daerah, khususnya di Kalimantan Timur yang memiliki karakteristik tanah berbeda dengan wilayah lain di Indonesia.
“Kami selalu jadi tempat keluhan petani setiap reses. Tapi sayangnya, kami tidak punya kewenangan untuk mengusulkan jenis pupuk yang sesuai kebutuhan daerah. Semuanya diputuskan pusat, padahal kondisi tanah kita sangat berbeda dengan Jawa,” ujar Guntur, Rabu (23/7/25).
Guntur menilai, distribusi pupuk subsidi yang dilakukan seragam secara nasional tanpa mempertimbangkan kondisi spesifik tiap daerah adalah bentuk kebijakan yang tidak responsif.
Ia menjelaskan bahwa tanah di wilayah Kalimantan Timur cenderung masam dan memiliki kadar besi tinggi, sehingga tidak cocok dengan jenis pupuk yang selama ini didistribusikan seperti urea atau TSP.
“Kalau terus-terusan dikirim pupuk yang tidak sesuai, ya sama saja buang-buang anggaran. Petani kami butuh kapur atau pupuk khusus lainnya. Ini soal efektivitas dan efisiensi,” tegas legislator asal Kutai Kartanegara itu.
Lebih jauh, Guntur menilai bahwa pendekatan top-down yang diterapkan pemerintah pusat menghambat terwujudnya kemandirian pangan nasional.
Menurutnya, daerah seharusnya diberi ruang untuk menentukan sendiri strategi pertanian berdasarkan kebutuhan dan karakteristik lokal.
“Jangan hanya minta kami mengawasi distribusi, tapi tidak diberi ruang untuk menentukan jenis pupuknya. Kalau mau swasembada, pemerintah pusat harus mau mendengar suara dari bawah, dari petani di desa-desa,” katanya.
Guntur juga menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah kabupaten, provinsi, dan pusat dalam mewujudkan pertanian yang berdaulat.
Ia mencontohkan sinergi yang ideal di mana kabupaten menangani bibit, provinsi menangani pupuk, dan pusat bertanggung jawab atas alat dan mesin pertanian.
“Tanpa kolaborasi dan pembagian peran yang jelas, mustahil kita bisa bicara soal kedaulatan pangan. Sentralisasi mutlak seperti sekarang justru menyumbat potensi daerah untuk tumbuh,” pungkasnya.(ADV)