Eksistensi.id, Samarinda — Tingginya angka pernikahan anak di Kalimantan Timur kembali menjadi sorotan. Minimnya edukasi reproduksi disebut sebagai akar masalah yang menyebabkan banyak remaja terjerumus dalam pernikahan usia dini, yang pada akhirnya memicu dampak sosial lebih luas seperti stunting, kekerasan dalam rumah tangga, dan ketidaksiapan menjadi orang tua.
Anggota Komisi IV DPRD Kaltim, Damayanti, menyoroti bahwa kebijakan pencegahan pernikahan anak masih lemah dari sisi edukasi sejak usia dini.
Ia menegaskan bahwa anak-anak tidak dibekali cukup pemahaman soal tanggung jawab reproduksi dan peran keluarga.
“Kalau tidak ada intervensi dari pendidikan sejak dini, maka lingkaran pernikahan anak dan dampak ikutannya akan terus berulang,” tegasnya, Rabu (23/7/25).
Data Dinas Kependudukan, Pemberdayaan Perempuan, dan Perlindungan Anak (DKP3A) Kaltim mencatat, pada 2025 terdapat 288 kasus pernikahan anak di bawah usia 19 tahun. Kota Balikpapan menjadi wilayah dengan angka tertinggi.
Mirisnya, Damayanti juga menyoroti lemahnya respons kelembagaan seperti Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) dalam menangani isu ini. Meskipun lembaga tersebut mendapat alokasi anggaran mencapai setengah miliar rupiah per tahun, kiprahnya dinilai kurang terasa di masyarakat.
“KPAD ini seperti antara ada dan tiada. Justru Tim Reaksi Cepat (TRC) PPA Kaltim yang selama ini lebih tampak bekerja di lapangan,” kata Damayanti.
Menurutnya, besarnya anggaran belum sebanding dengan kinerja yang dihasilkan. Ia mengingatkan pentingnya reformulasi strategi kerja KPAD agar lebih adaptif terhadap isu-isu yang berkembang, khususnya berkaitan dengan anak dan remaja.
Ia pun mendorong sinergi yang lebih kuat antara KPAD dan Dinas Pendidikan untuk merancang program edukasi seksual dan reproduksi yang menyasar pelajar usia sekolah.
Baginya, edukasi tersebut harus menjadi pendekatan utama dalam menekan laju pernikahan dini, bukan hanya penindakan atau reaksi pasca kejadian.
“Edukasi reproduksi ini bukan soal biologis semata, tapi membentuk pemahaman dan tanggung jawab sosial sejak dini. KPAD tidak bisa jalan sendiri. Harus ada kolaborasi konkret dengan sektor pendidikan,” ujarnya.
Damayanti berharap KPAD mampu mengevaluasi sistem kerjanya dan mengedepankan strategi yang lebih aktif, inovatif, dan tepat sasaran. Tanpa pembenahan kelembagaan, kata dia, upaya perlindungan anak hanya akan menjadi jargon kosong yang tak menyentuh akar persoalan.(ADV)