Eksistensi.id, Samarinda – Pelaksanaan Bulan Bakti Gotong Royong Masyarakat (BBGRM) dinilai masih cenderung bersifat seremonial tanpa dampak jangka panjang terhadap penguatan solidaritas sosial di tingkat akar rumput.
Kritik ini disampaikan oleh Anggota Komisi II DPRD Kalimantan Timur (Kaltim), Firnadi Ikhsan, yang menekankan pentingnya transformasi BBGRM menjadi gerakan sosial berkelanjutan, bukan hanya ritual tahunan.
“Gotong royong itu bukan event tahunan. Dia harus hidup di setiap hari, di setiap desa, menjadi budaya kerja masyarakat. Kalau hanya ramai di acara, lalu hilang, itu artinya kita gagal mewarisi nilai dasar bangsa,” tegas Firnadi.
Firnadi, legislator dari daerah pemilihan Kutai Kartanegara, menilai bahwa pelaksanaan BBGRM ke-22 yang dipusatkan di Kecamatan Kota Bangun memang penting secara simbolik.
Namun, ia menegaskan bahwa simbol saja tidak cukup. Harus ada keberlanjutan, evaluasi, dan pembiasaan nilai gotong royong dalam praktik nyata pembangunan dan kehidupan sosial masyarakat.
“Kita jangan puas hanya karena sukses gelar acara. Pertanyaannya: apakah setelah BBGRM selesai, warga tetap aktif bergotong royong? Apakah kegiatan ini mengubah pola pikir dan pola tindak? Di situlah ukurannya,” katanya.
Menurut Firnadi, gotong royong adalah kekuatan sosial bangsa yang terancam hilang di tengah budaya individualistik dan birokrasi yang kian menjauh dari rakyat.
Untuk itu, ia mendorong agar BBGRM tidak berhenti pada kegiatan fisik seperti kerja bakti atau perbaikan infrastruktur saja, tetapi harus masuk ke ranah pembangunan nilai, solidaritas ekonomi, dan kemandirian sosial.
“Kita perlu gotong royong yang terstruktur dan sistematis. Misalnya, program pembangunan desa berbasis swadaya, penguatan UMKM berbasis komunitas, dan pelibatan warga dalam pengambilan keputusan lokal. Jangan bergantung terus ke APBD atau bantuan pusat,” ujarnya.
Ia mencontohkan bagaimana wilayah seperti Kota Bangun, yang memiliki sejarah dan ikatan sosial kuat sebelum dimekarkan menjadi Kota Bangun Induk dan Kota Bangun Darat, bisa menjadi model integrasi sosial dan gotong royong berbasis komunitas.
“Di tempat-tempat seperti inilah nilai gotong royong itu hidup. Tinggal bagaimana pemerintah serius membina dan menguatkannya, bukan hanya hadir saat acara seremonial,” imbuhnya.
Firnadi menutup pernyataannya dengan mendesak agar Pemkab Kukar dan Pemprov Kaltim menjadikan BBGRM sebagai bagian dari program strategis jangka menengah, bukan hanya agenda tahunan.
Ia juga meminta pelibatan aktif masyarakat dalam perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi kegiatan, agar semangat gotong royong benar-benar membumi dan berdampak.
“Kalau mau bicara pembangunan berkelanjutan, maka jangan lupakan pembangunan sosial. BBGRM seharusnya jadi pendorong utama, bukan sekadar kegiatan yang mengandalkan spanduk dan panggung,” tutup Firnadi.(ADV)