Eksistensi,id. Samarinda – Tingginya angka pasien tuberkulosis (TBC) yang gagal menyelesaikan terapi di Kalimantan Timur (Kaltim) menandakan bahwa pendekatan medis semata belum cukup.
Wakil Ketua Komisi IV DPRD Kaltim, Andi Satya Adi Saputra, menyebut lemahnya sistem pendampingan pasien sebagai akar persoalan yang selama ini kurang disentuh secara serius.
Menurut Andi, penyakit menular seperti TBC memerlukan pendekatan berbasis komunitas dan dukungan psikososial, bukan hanya pengobatan di fasilitas kesehatan.
“Banyak pasien berhenti bukan karena obat tidak tersedia, tapi karena tidak ada yang mendampingi. Rasa bosan, kurang informasi, dan stigma membuat mereka menyerah di tengah jalan,” ujarnya, Minggu (20/7/25).
Ia menyayangkan masih minimnya keterlibatan keluarga dan kader kesehatan lokal dalam proses pengobatan yang seharusnya berjalan selama minimal enam bulan secara konsisten.
Data dari Dinas Kesehatan Kaltim menunjukkan bahwa hingga April 2025, hanya 77,15 persen dari 3.356 pasien TBC yang berhasil menuntaskan pengobatan. Sebanyak 286 pasien memilih berhenti, dan lebih dari 150 meninggal dunia.
Wilayah dengan beban kasus tertinggi seperti Samarinda dan Balikpapan justru mencatat rasio keberhasilan di bawah 78 persen, sementara daerah seperti Berau dan Mahakam Ulu yang memiliki kasus lebih sedikit mampu menembus angka 90 persen.
“Ini bukan sekadar soal fasilitas. Ketika pasien merasa tidak sendirian, peluang mereka untuk sembuh lebih besar. Di daerah yang capaian TSR-nya tinggi, kita lihat peran komunitas lebih kuat,” lanjutnya.
Andi menekankan bahwa keberhasilan pengobatan TBC sangat bergantung pada monitoring harian, penguatan edukasi di tingkat RT/RW, serta pengaktifan kembali posyandu dan kader desa sebagai pengawas langsung.
Komisi IV DPRD Kaltim pun mendesak pemerintah daerah untuk mengubah strategi. Edukasi harus menyasar keluarga pasien, bukan hanya pasien itu sendiri. Selain itu, perlu ada dukungan transportasi dan insentif bagi pendamping, terutama di wilayah terpencil.
“Pasien yang gagal terapi bisa menjadi sumber penyebaran TBC yang lebih kuat dan lebih kebal terhadap obat. Artinya, kita harus bergerak dari sekadar mengobati menjadi mencegah secara kolektif,” tegasnya.
Ia juga meminta agar skema zonasi TBC yang diterapkan Dinkes Kaltim tidak hanya dijadikan alat pemetaan pasif, tetapi sebagai dasar kebijakan distribusi sumber daya, termasuk tenaga lapangan dan logistik pendukung.
“Kita butuh langkah konkret. Libatkan tokoh masyarakat, aktifkan kembali peran posyandu dewasa. Ini bukan cuma urusan medis, ini urusan sosial yang harus dijawab bersama-sama,” pungkasnya.(ADV)