Eksistensi.id, Samarinda – Dugaan pungutan biaya pembelian dan jahit seragam yang dialami siswa baru di SMA Negeri 10 Samarinda kembali membuka diskusi lama tentang lemahnya transparansi tata kelola keuangan sekolah negeri.
Sekretaris Komisi IV DPRD Kalimantan Timur (Kaltim), Darlis Pattalongi, menegaskan bahwa kejadian semacam ini harus menjadi momentum perbaikan menyeluruh.
Dari laporan yang diterima DPRD, wali murid diminta membayar lebih dari Rp2,5 juta, terdiri dari pembelian kain seragam sekitar Rp1,4 juta dan ongkos jahit Rp1,05 juta. Praktik ini dinilai mencederai semangat pendidikan yang inklusif dan bebas biaya.
“Ini bukan soal seragam semata. Ini menyangkut tata kelola yang buruk. Jika tidak diawasi, bisa berulang di sekolah lain,” ujar Darlis, Minggu (20/7/25).
Politisi PAN itu menyebut sudah ada regulasi yang melarang transaksi pembelian seragam di lingkungan sekolah negeri, terlebih dilakukan secara kolektif tanpa transparansi.
Meski peristiwa terjadi saat SMAN 10 masih berada di bawah kepemimpinan lama, Darlis menilai manajemen baru tetap memiliki kewajiban menyelesaikan persoalan ini secara terbuka dan bertanggung jawab.
“Kalau ada wali murid yang sudah bayar, tapi barangnya tidak diterima, uang harus dikembalikan. Jangan diam, karena itu bisa dikategorikan sebagai bentuk kelalaian institusi,” tegasnya.
Darlis juga menyoroti pentingnya transaksi resmi dan tercatat. Ia mengimbau agar wali murid tidak lagi mudah percaya jika diminta membayar lewat rekening perorangan.
“Sekolah negeri bukan lembaga privat. Pengelolaan dananya harus akuntabel. Jangan beri ruang pungutan-pungutan informal yang memberatkan,” jelasnya.
Komisi IV DPRD Kaltim sendiri saat ini tengah mendorong pembangunan fasilitas baru di SMAN 10, termasuk asrama siswa. Darlis menyayangkan munculnya kasus ini karena bisa mengganggu kepercayaan publik terhadap lembaga pendidikan.
Sebagai bentuk pengawasan, ia membuka kanal pengaduan langsung bagi masyarakat, dan memberi waktu kepada pihak sekolah untuk menyelesaikan masalah tersebut secara internal.
“Kalau tidak diselesaikan, kami akan panggil pihak sekolah dan minta klarifikasi bersama Dinas Pendidikan,” ujarnya.
Lebih dari sekadar mengembalikan dana, Darlis menegaskan perlu ada evaluasi sistemik atas pola hubungan antara sekolah dan orang tua siswa, agar ke depan tidak terjadi lagi praktik yang menyalahi aturan atas nama kebiasaan.(ADV)