Eksistensi.id Samarinda – Kelangkaan elpiji 3 kilogram (kg) di Kota Samarinda kembali menjadi perhatian publik. Meskipun kuota yang dialokasikan dinyatakan mencukupi, masyarakat masih mengalami kesulitan mendapatkan gas subsidi di pangkalan resmi.
Permasalahan ini tidak hanya berkaitan dengan keterbatasan pasokan, tetapi juga disebabkan oleh ketidaktepatan distribusi serta meningkatnya kepanikan masyarakat dalam membeli elpiji subsidi.
Ketua Komisi II DPRD Kota Samarinda, Iswandi, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang membahas kelangkaan elpiji 3 kg, menegaskan bahwa secara kuota, jumlah yang dialokasikan untuk Samarinda seharusnya mencukupi kebutuhan masyarakat.
Berdasarkan data yang disampaikan PT Pertamina Patra Niaga, pada tahun 2024, kuota elpiji subsidi untuk Samarinda mencapai 29.405 metrik ton per tahun, setara dengan 9.801.000 tabung.
Distribusi gas subsidi ini dilakukan melalui 23 agen resmi yang bertugas menyalurkannya ke pangkalan-pangkalan yang telah ditetapkan.
“Pertamina telah menjelaskan bahwa pangkalan tidak beroperasi saat hari libur nasional, tetapi di luar itu, distribusi tetap berjalan normal tanpa kendala berarti. Kuota yang tersedia sebetulnya cukup, namun kepanikan masyarakat dalam membeli gas menjadi salah satu faktor utama yang menyebabkan kelangkaan,” ujar Iswandi dalam rapat yang digelar pada Kamis (6/2/2025).
Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa kepanikan masyarakat meningkat setelah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menerbitkan kebijakan pada 27 Januari 2025 yang melarang pengecer menjual elpiji subsidi mulai 1 Februari 2025.
Kebijakan tersebut sempat menimbulkan keresahan di tengah masyarakat sebelum akhirnya dibatalkan oleh Presiden Prabowo pada 3 Februari 2025.
“Salah satu kendala yang menjadi perhatian kami adalah masih adanya pihak yang tidak berhak tetapi tetap membeli gas subsidi. Masalah ini perlu mendapat tindak lanjut agar distribusi elpiji subsidi benar-benar tepat sasaran,” tegasnya.
Sebagai langkah konkret, Komisi II DPRD Samarinda berencana mengundang kembali Dinas Koperasi, UKM, dan Perindustrian (Diskumi), Dinas Perdagangan (Disdag) Samarinda, serta Biro Ekonomi Pemerintah Kota Samarinda untuk membahas skema distribusi yang lebih efektif.
“Kami akan mencari solusi terbaik, apakah dengan menerapkan sistem pembagian yang lebih merata, seperti satu pangkalan untuk lima RT, atau mekanisme lain yang lebih efektif. Dengan demikian, masyarakat tidak perlu mencari gas hingga ke kecamatan lain. Kondisi seperti ini justru menyebabkan kenaikan harga yang akhirnya semakin membebani masyarakat,” jelasnya.
Selain itu, DPRD juga akan memperketat regulasi terkait penggunaan gas subsidi bagi pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
Berdasarkan ketentuan yang berlaku, hanya UMKM dengan omzet maksimal Rp800 ribu per hari yang berhak menggunakan elpiji subsidi.
Namun, di lapangan ditemukan bahwa ada usaha dengan omzet Rp3-4 juta per hari yang masih menggunakan gas subsidi.
“Kami akan memastikan bahwa data penerima gas subsidi lebih akurat dengan menggandeng Diskumi agar pendistribusian dapat lebih tepat sasaran,” imbuhnya.
Dalam rapat tersebut, juga terungkap bahwa beberapa pangkalan menjual elpiji subsidi dengan harga di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan, yaitu Rp18 ribu per tabung.
Di beberapa lokasi, harga gas subsidi bahkan mencapai Rp25 ribu hingga Rp30 ribu per tabung. Sementara itu, pengecer membeli dengan harga Rp35 ribu per tabung dan hanya mendapatkan keuntungan sekitar Rp5 ribu per tabung.
Sebagai upaya tindak lanjut, Komisi II DPRD Samarinda akan terus berkoordinasi dengan instansi terkait untuk memastikan bahwa elpiji subsidi benar-benar diterima oleh masyarakat yang berhak.
“Keuntungan yang diperoleh pengecer memang kecil, tetapi ada pihak tertentu yang meraup keuntungan lebih besar dalam rantai distribusi ini. Kami akan menelusuri lebih lanjut permasalahan tersebut,” tutupnya.
Penulis Nisa editor Redaksi eksistensi