Eksistensi.id, Samarinda — Rencana Badan Gizi Nasional (BGN) untuk membangun 350 unit Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) menuai respons kritis dari legislatif.
Meski program tersebut dianggap strategis dalam mendongkrak kualitas gizi masyarakat, pelaksanaannya dinilai berpotensi tersendat akibat rendahnya daya tarik investasi sektor swasta.
Hal tersebut disampaikan Sekretaris Komisi IV DPRD Kaltim, Muhammad Darlis Pattalongi. Ia menilai anggaran Rp10 miliar per tahun yang dialokasikan untuk masing-masing unit belum cukup menggugah minat pelaku usaha untuk terlibat membangun dan mengelola dapur pelayanan gizi.
“Rencana ini sangat bagus, tetapi kalau berharap swasta ikut membangun tanpa insentif yang jelas, itu akan sulit terwujud. Mereka menghitung betul untung-ruginya, dan angka yang disiapkan saat ini belum realistis untuk standar dapur pelayanan makan gizi gratis,” kata Darlis, Rabu (23/7/25).
Menurutnya, tantangan akan semakin kompleks ketika pembangunan diarahkan ke daerah pedalaman. Tingginya ongkos logistik dan sulitnya akses dipastikan menambah beban biaya yang tidak tertutupi oleh skema pembiayaan saat ini.
“Kalau di kota mungkin bisa, tapi di daerah pedalaman yang perlu tambahan alat angkut dan infrastruktur dasar, anggaran itu jadi tidak cukup. Ini yang harus dipertimbangkan sejak awal,” tegasnya.
Darlis menyoroti bahwa beberapa pelaku usaha sebenarnya bersedia berkontribusi dalam proyek SPPG. Namun, niat itu terhambat oleh desain teknis yang kaku serta struktur pembiayaan yang dianggap kurang mendukung kelangsungan operasional secara jangka panjang.
“Dengan hitungan Rp15.000 per porsi, hanya Rp10.000 untuk bahan makanan dan Rp5.000 operasional. Kalau syarat teknisnya tinggi dan pembiayaan seperti itu, tentu swasta akan pikir dua kali,” ujarnya.
Politikus asal daerah pemilihan Samarinda itu mengusulkan agar BGN merevisi pendekatan pendanaan dan fleksibilitas teknis SPPG. Ia menyarankan agar dibuat dua model pembangunan, satu untuk wilayah perkotaan dan satu lagi untuk pedalaman, agar tetap adaptif terhadap kondisi lapangan.
“Standarnya jangan disamakan semua, harus dibuat modular. Kalau anggaran dan regulasinya bisa fleksibel, saya yakin pihak swasta akan lebih tertarik membantu,” pungkasnya.(ADV)
Penulis : Nurfa | Editor : Redaksi