Eksistensi.id, Samarinda – Program bantuan pendidikan tinggi di Kalimantan Timur (Kaltim) yang sebelumnya populer dengan istilah “gratis pol” mengalami penyesuaian kebijakan.
Anggota Komisi IV DPRD Kaltim, Sarkowi V. Zahry, menegaskan bahwa langkah tersebut merupakan bentuk penyesuaian terhadap aturan hukum yang berlaku sekaligus penyesuaian terhadap kondisi fiskal daerah.
Sarkowi menjelaskan bahwa pemerintah daerah tidak memiliki kewenangan langsung terhadap urusan pendidikan tinggi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. Namun, pemerintah provinsi tetap memiliki kepedulian terhadap warganya yang sedang menempuh pendidikan di perguruan tinggi.
“Karena mahasiswa itu juga rakyat Kaltim, Gubernur mencari solusi agar bisa tetap memberikan bantuan, tapi tidak melanggar peraturan,” ujarnya.
Solusi tersebut diwujudkan dalam bentuk program “bantuan pendidikan tinggi” yang secara legalitas diatur melalui Peraturan Gubernur (Pergub). Sarkowi menyebutkan bahwa langkah ini diambil agar program tetap bisa berjalan sesuai koridor hukum yang berlaku.
Selain faktor regulasi, keterbatasan anggaran juga menjadi pertimbangan penting. Menurut Sarkowi, APBD Kaltim tahun ini mengalami penurunan dari sekitar Rp 20 triliun menjadi Rp 18 triliun.
Ia menekankan bahwa pendidikan hanyalah satu dari berbagai janji kepala daerah yang menuntut realisasi anggaran, seperti pembangunan infrastruktur antarwilayah, program sosial, dan peningkatan kesejahteraan.
“Semua janji gubernur itu memerlukan anggaran. Kita harus realistis dalam menyusun skala prioritas,” tegasnya.
Meski begitu, Sarkowi menyayangkan kurangnya sosialisasi terkait program ini yang menyebabkan banyak kesalahpahaman di masyarakat. Ia menilai informasi yang tidak tersampaikan dengan baik telah menimbulkan opini publik yang keliru.
“Banyak masyarakat bingung karena informasi tidak jelas. Katanya gratis, tapi kok ada yang tidak dapat? Bisa jadi karena belum mendaftar atau tidak memenuhi syarat,” jelasnya.
Sebagai bentuk perbaikan komunikasi publik, Sarkowi mendorong pemerintah memanfaatkan platform digital yang lebih akrab di kalangan muda.
Ia bahkan menyarankan penggunaan media sosial seperti TikTok untuk menjelaskan secara langsung dan interaktif kepada mahasiswa.
“Coba lakukan live di TikTok. Jelaskan secara langsung, biar mahasiswa paham. Ini cara yang efektif menjangkau anak-anak muda sekarang,” katanya.
Sarkowi juga mengimbau masyarakat agar tidak sekadar bersandar pada isu-isu yang beredar. Ia meminta agar isi Pergub dibaca secara menyeluruh sebelum menyampaikan kritik.
“Termasuk adik-adik mahasiswa, tolong baca dulu Pergub-nya. Kalau sudah, baru kita diskusikan secara objektif,” imbuhnya.
Terkait keberlanjutan program, Sarkowi tidak menutup kemungkinan adanya peningkatan status regulasi dari Pergub menjadi Peraturan Daerah (Perda) jika kelak dibutuhkan. Ia menilai peningkatan tersebut bisa membuka ruang partisipasi publik yang lebih luas dalam penyusunan kebijakan.
“Jika Pergub dianggap kurang kuat secara hukum, kita bisa dorong untuk naik menjadi Perda. Dengan begitu, prosesnya melalui DPRD dan melibatkan lebih banyak aspirasi masyarakat,” jelasnya.
Ia mengajak kepada semua pihak agar memberi waktu kepada pemerintah untuk menjalankan program tersebut terlebih dahulu sebelum dievaluasi lebih lanjut.
“Pahami dulu dasar hukumnya, lengkapi informasi, baru kita bisa duduk bersama untuk menilai dan menyempurnakan,” pungkas Sarkowi.(ADV)
Penulis : Nurfa | Editor: Redaksi