Eksistensi.id, Samarinda – Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memisahkan pelaksanaan Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah membawa perubahan besar terhadap skema penyelenggaraan demokrasi di Indonesia. Salah satu konsekuensi paling signifikan dari putusan tersebut adalah mundurnya jadwal Pilkada Serentak ke tahun 2031, atau dua tahun setelah Pemilu Nasional 2029.
Anggota DPRD Kalimantan Timur (Kaltim), Salehuddin, menilai bahwa putusan MK ini merupakan momen penting untuk menata ulang sistem demokrasi nasional, bukan sekadar perubahan teknis pelaksanaan pemilu.
“Ini bukan hanya soal teknis. Ini menyangkut hal fundamental dalam penyelenggaraan sistem politik nasional, termasuk harmonisasi seluruh peraturan perundang-undangan yang ada,” ujarnya, Senin (7/7/25).
Sebagaimana diketahui, Mahkamah Konstitusi pada 26 Juni 2025 resmi mengabulkan sebagian permohonan dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
MK memutuskan bahwa Pemilu Presiden, DPR, dan DPD harus dilaksanakan terlebih dahulu, sementara Pemilu Gubernur, Bupati, Wali Kota, serta DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota dilakukan paling lambat dua tahun enam bulan setelahnya. Artinya, untuk pertama kalinya dalam sejarah pasca-reformasi, Pilkada tidak lagi digelar serentak dengan pemilu nasional.
Dampaknya sangat luas. Menurut Salehuddin, pemisahan ini akan mendorong revisi terhadap sejumlah aturan besar, termasuk Undang-Undang Pemilu dan bahkan bisa menyentuh Undang-Undang Dasar 1945.
“Kalau kita menerima dan menghormati keputusan MK, maka secara otomatis harus ada tindak lanjut dalam bentuk revisi perundang-undangan. Kalau tidak, akan muncul tumpang tindih aturan yang membingungkan publik dan penyelenggara,” katanya.
Sebagai Sekretaris Komisi I DPRD Kaltim, Salehuddin mengungkapkan bahwa Fraksi Partai Golkar di DPRD Kaltim telah lebih dulu melakukan kajian internal atas putusan ini.
Bahkan pihaknya sudah berdiskusi langsung dengan jajaran DPP Golkar dan Fraksi Golkar DPR RI untuk memahami dampak dan konsekuensinya secara utuh.
“Kami bertemu langsung dengan Sekjen DPP Golkar dan Fraksi Golkar di DPR RI, dan memang membahas secara mendalam soal putusan ini. Karena yang kita hadapi bukan hal kecil,” tuturnya.
Salehuddin juga menyoroti dua aspek penting yang muncul pasca putusan MK ini. Pertama, soal kepercayaan publik terhadap Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yudikatif tertinggi yang keputusannya bersifat final dan mengikat. Kedua, soal kesiapan sistem hukum dan politik nasional dalam mengakomodasi perubahan besar ini.
“Ini bukan hanya tentang mematuhi MK. Ini soal menjaga legitimasi lembaga negara sekaligus menjamin kesinambungan sistem hukum yang berjalan,” tegasnya.
Ia menyerukan agar pemerintah pusat, khususnya Kementerian Hukum dan HAM serta DPR RI, segera menyusun aturan teknis dan norma hukum turunan dari putusan tersebut.
Tanpa kejelasan tersebut, Salehuddin khawatir implementasi kebijakan akan terhambat dan membingungkan banyak pihak, termasuk penyelenggara pemilu di daerah.
“Bagaimana nanti teknisnya, bagaimana penyesuaian regulasinya ini harus dijawab segera. Pemerintah pusat tidak boleh lambat dalam merespons perubahan sebesar ini,” jelasnya.
Meski di tengah masyarakat muncul pro dan kontra, Salehuddin menekankan bahwa keputusan MK tetap harus dihormati sebagai produk hukum konstitusional.
Namun ia mengingatkan, kehormatan itu harus dibarengi dengan kejelasan arah kebijakan dan kesiapan sistem.
Putusan ini tidak hanya akan memengaruhi kalender politik nasional, tetapi juga akan menggeser pola mobilisasi politik lokal, strategi partai, dan perencanaan anggaran daerah dalam lima hingga sepuluh tahun ke depan. Karena itu, respons yang lambat berpotensi menciptakan kekacauan administratif di masa mendatang.
“Kalau Pilkada mundur ke 2031, maka kita harus siap dari sekarang, baik dari sisi hukum, politik, maupun teknis pelaksanaan. Tidak bisa menunggu mendekati waktu,” pungkasnya.(ADV)
Penulis : Nurfa | Editor: Redaksi