Eksistensi.id, Samarinda – Di tengah ketimpangan akses pendidikan antara kota dan daerah terpencil, DPRD dan Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur (Pemprov Kaltim) menunjukkan komitmen kuat untuk memastikan setiap anak, di mana pun berada, tidak tertinggal dalam meraih cita-citanya.
Komitmen tersebut tercermin dalam penyusunan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Penyelenggaraan Pendidikan yang saat ini tengah dibahas di DPRD Kaltim.
Raperda ini tak sekadar menjadi instrumen hukum, tetapi juga simbol tekad bersama agar pembangunan sumber daya manusia tidak berhenti di pusat kota saja.
“Melalui Raperda ini, kami ingin memastikan tidak ada lagi anak yang kehilangan masa depannya hanya karena tinggal jauh dari perkotaan. Pendidikan harus hadir sampai ke kampung, ke pesisir, ke gunung, tanpa diskriminasi,” tegas Ketua Bapemperda DPRD Kaltim, Baharuddin Demmu, Kam
Menurutnya, keadilan dalam pendidikan bukan hanya soal jumlah sekolah atau bangunan fisik, tetapi soal keberpihakan nyata melalui kebijakan yang menjangkau anak-anak di daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar).
Raperda ini dirancang untuk mengisi kesenjangan itu melalui pendekatan yang inklusif, inovatif, dan berbasis kebutuhan lokal.
Baharuddin menyebut raperda terdiri dari 17 bab dan 90 pasal, mencakup mulai dari alokasi anggaran pendidikan minimal 20 persen dari APBD, perluasan pendidikan berbasis teknologi, hingga penguatan pendidikan bagi komunitas adat dan korban bencana.
“Anak-anak di Mahakam Ulu, Berau, atau Kutai Barat harus punya peluang yang sama seperti anak di Samarinda atau Balikpapan. Itu prinsip dasarnya,” ujarnya.
Salah satu poin krusial adalah pengaturan ulang sistem pendirian, perubahan, dan penutupan satuan pendidikan agar tidak hanya berorientasi administratif, tapi berpijak pada kebutuhan riil wilayah. Selain itu, akses pendidikan inklusif untuk anak berkebutuhan khusus, pendidikan berbasis komunitas, dan sistem informasi digital juga diatur lebih detail.
Tidak kalah penting, raperda ini juga memasukkan larangan praktik komersialisasi pendidikan, termasuk penjualan buku dan perlengkapan sekolah oleh pihak yang tidak berwenang, yang seringkali membebani orang tua siswa secara tidak perlu.
“Kami tidak ingin pendidikan menjadi beban. Pendidikan adalah hak, bukan barang dagangan. Karena itu, kita atur semuanya dengan sanksi tegas untuk pelanggaran-pelanggaran semacam itu,” ujar Baharuddin.
Ia juga mendorong pelibatan aktif masyarakat, dunia usaha, dan akademisi dalam penyusunan raperda ini.
Menurutnya, keterlibatan berbagai pihak adalah syarat utama agar aturan ini tidak berhenti di atas kertas, tetapi benar-benar bisa diterapkan dan dirasakan manfaatnya.
Sebagai penutup, Baharuddin menegaskan bahwa kehadiran Raperda Penyelenggaraan Pendidikan adalah bukti bahwa Kaltim serius mempersiapkan generasi emas, bukan hanya untuk menghadapi tantangan IKN, tetapi juga masa depan yang lebih adil untuk seluruh warganya.
“Kami tidak ingin ada satu pun anak yang merasa ditinggalkan. Setiap anak Kaltim punya hak yang sama untuk bermimpi, dan kami di DPRD serta Pemprov akan terus mengawal itu,” pungkasnya.(ADV)
penulis : Nurfa | Editor : Redaksi