Eksistensi.id, Samarinda — Di tengah semakin aktifnya partisipasi masyarakat melalui media sosial, Wakil Ketua DPRD Kalimantan Timur, Ananda Emira Moeis, menyerukan pentingnya etika dalam menyikapi kritik yang muncul dari ruang digital. Ia menegaskan bahwa suara warganet adalah bentuk keterlibatan, bukan ancaman yang perlu dibungkam.
“Jika masyarakat masih menyuarakan pendapatnya, itu berarti mereka peduli. Yang harus diwaspadai justru saat mereka memilih diam,” ujar Ananda, pada Jumat (27/6/2025).
Menurut politisi PDI Perjuangan ini, kritik yang muncul di media sosial semestinya dianggap sebagai umpan balik untuk perbaikan, bukan dipersepsikan sebagai serangan pribadi.
Ia menyayangkan masih adanya respons yang cenderung defensif bahkan menyerang balik lewat akun anonim atau buzzer yang tidak bertanggung jawab.
“Penggunaan akun tidak resmi untuk membalas kritik hanya akan memperbesar jarak antara pemerintah dan rakyat. Ini bukan solusi, melainkan sumber apatisme baru,” ungkapnya.
Ananda menilai bahwa menjelang momentum Pilkada dan dalam konteks Kalimantan Timur sebagai penyangga utama Ibu Kota Nusantara (IKN), ruang publik harus dijaga agar tetap sehat dan demokratis. Komunikasi dua arah yang terbuka, katanya, menjadi fondasi penting dalam membangun kepercayaan.
“Ketika kritik dibalas dengan serangan atau pembungkaman, pemerintah sedang melewatkan kesempatan emas untuk menunjukkan kedewasaan dan kesiapan berbenah,” tuturnya.
Lebih dari sekadar proyek fisik, Ananda menyebut bahwa keberhasilan pemerintah juga diukur dari kualitas relasi sosial dan kedekatannya dengan aspirasi masyarakat. Ia mendorong para pemangku kebijakan untuk lebih terbuka dalam menyerap kritik dan menjadikannya sebagai masukan konstruktif.
“Masyarakat digital hari ini, termasuk netizen, adalah aktor penting dalam dinamika pembangunan. Mereka tidak bisa dikesampingkan hanya karena menyuarakan kegelisahan atau kritik,” jelasnya.
Ananda mengingatkan bahwa demokrasi digital yang sehat tidak dibangun dengan membungkam suara, melainkan dengan memperkuat dialog dan mendengarkan secara utuh.
“Kita butuh ruang publik yang dewasa, bukan penuh polarisasi karena respons tidak bijak dari pihak yang tak siap menerima kritik. Pemerintah harus hadir sebagai pendengar, bukan hanya pembicara,” pungkasnya.(ADV)
Penulis : Nurfa | Editor : Redaksi