Eksistensi.id, Samarinda — Revisi Peraturan Daerah tentang pengelolaan Sungai Mahakam dinilai sebagai peluang strategis untuk menegaskan kembali posisi Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur dalam penguasaan aset kelautan dan pesisir.
Wakil Ketua Komisi II DPRD Kaltim, Sapto Setyo Pramono, menegaskan bahwa dominasi pemerintah daerah dalam struktur kepemilikan dan pengelolaan harus dikunci minimal 51 persen.
“Ini bukan soal persentase semata, tetapi tentang kedaulatan. Pemerintah daerah harus jadi pengendali utama, bukan hanya mitra pendamping dalam proyek-proyek strategis kelautan,” ujar Sapto pada Jumat (27/6/2025).
Menurutnya, pembaruan regulasi ini harus diarahkan untuk memperkuat posisi daerah, terutama dalam pengelolaan kawasan alur tambang, pelabuhan bongkar muat, dan ruang laut hingga 12 mil dari garis pantai yang menjadi kewenangan provinsi.
Ia mengingatkan bahwa tanpa posisi dominan, pemerintah akan kesulitan melindungi kepentingan masyarakat dari dominasi kepentingan komersial.
“Dalam kerja sama investasi, jika daerah tidak punya kendali mayoritas, keputusan penting justru akan diambil sepihak. Kita sudah mengalami itu dalam sejumlah skema sebelumnya,” tegasnya.
Sapto juga menggarisbawahi masih minimnya kontribusi potensi kelautan terhadap pendapatan asli daerah (PAD). Dari sembilan sektor yang dipetakan, baru empat yang menunjukkan hasil nyata. Ia menilai perlu ada penataan ulang, termasuk mengkaji ulang pola kerja sama yang terlalu netral tanpa arah strategis.
“Bagi hasil 50:50 dengan operator seperti Pelindo memang tampak adil di atas kertas, tapi faktanya melemahkan posisi pemerintah dalam membuat kebijakan. Kita butuh skema yang lebih berkeadilan dan visioner,” jelasnya.
Salah satu solusi, menurutnya, adalah memperkuat peran Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) sebagai aktor utama. BUMD tidak hanya berfungsi sebagai pelaksana, tapi juga sebagai representasi resmi pemerintah daerah dalam struktur pengelolaan aset.
“Transparansi dan akuntabilitas harus jadi prinsip utama. Setiap penyertaan modal dari APBD harus diikuti dengan proyeksi imbal hasil, rencana bisnis yang jelas, dan laporan keuangan yang terbuka,” paparnya.
Lebih jauh, Sapto juga mendorong adopsi prinsip pelabuhan ramah lingkungan (green port) dalam pengembangan pelabuhan strategis, khususnya di wilayah utara Kaltim yang sedang berkembang. Ia menyebut arah pembangunan tak boleh hanya berorientasi pada ekonomi, tetapi juga keberlanjutan lingkungan.
“Green port bukan tren, tapi kebutuhan. Kita harus mulai mengintegrasikan aspek lingkungan ke dalam kebijakan pelabuhan dan sektor kelautan,” ujarnya.
Sebagai penutup, Sapto menegaskan bahwa revisi Perda Mahakam harus dimaknai sebagai langkah politik penting untuk mengembalikan kedaulatan pengelolaan sumber daya ke tangan pemerintah daerah.
“Ini bukan hanya revisi administratif. Kita sedang menyusun ulang relasi antara pusat, daerah, dan swasta dalam pengelolaan aset strategis. Dan posisi daerah harus diperkuat, bukan dikerdilkan,” pungkasnya.(ADV)
Penulis : Nurfa | Editor: Redaksi