Eksistensi.id, Samarinda – Polemik seputar rencana pendirian rumah ibadah di Kelurahan Sungai Keledang kembali mengemuka. Ketua Komisi I DPRD Kota Samarinda, Samri Shaputra, menegaskan pentingnya musyawarah sebagai jalan tengah untuk menyelesaikan persoalan yang berpotensi menimbulkan ketegangan sosial ini.
Menurut Samri, akar dari persoalan terletak pada kekaburan administrasi dari permohonan awal yang diajukan oleh pihak pemohon.
Ia menyebut bahwa dokumen yang masuk ke pemerintah kelurahan tidak secara tegas menyebutkan izin mendirikan bangunan rumah ibadah.
“Dari penjelasan lurah tadi, permohonan awal yang diajukan itu terkesan tidak terang-terangan menyebut izin mendirikan bangunan. Dari tata bahasanya dinilai tidak jelas. Jadi perlu ditinjau kembali,” ujarnya.
Bagi Samri, ketidakjelasan administrasi tersebut seharusnya dapat dicegah sejak awal jika semua persyaratan telah dipenuhi dengan jelas dan transparan.
Ia menilai bahwa masalah ini tidak akan melebar menjadi isu sosial jika aspek legalitas dan komunikasi publik dijalankan dengan baik.
“Ini bukan semata soal izin, tapi juga soal kenyamanan dan keamanan beribadah bagi umat Nasrani, serta pentingnya menjaga stabilitas sosial di lingkungan sekitar,” katanya.
Meski Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) telah memberikan rekomendasi, Samri menekankan bahwa itu tidak otomatis mengesahkan proses pendirian jika tahap awal tidak dijalani dengan akuntabilitas yang memadai.
Ia mengingatkan bahwa pembangunan rumah ibadah memerlukan keseimbangan antara legalitas administratif dan sensitivitas sosial masyarakat sekitar.
“Persoalan seperti ini tidak bisa hanya dilihat dari dukungan sebagian warga saja. Harus mempertimbangkan urgensi dan kondisi sosial di lingkungan sekitar. Jangan sampai menimbulkan gejolak yang tidak perlu,” sambungnya.
Alih-alih membawa persoalan ke jalur hukum, Samri mendorong agar seluruh pihak kembali duduk bersama.
Ia yakin musyawarah yang terbuka dan jujur bisa menjadi sarana efektif untuk meredakan ketegangan dan mencapai titik temu.
“Artinya bukan untuk menghambat, tapi agar tidak menimbulkan gejolak sosial. Duduk bersama itu penting,” tegasnya.
Bagi Samri, menjaga harmoni antarumat beragama di Samarinda harus dimulai dari proses yang inklusif, terbuka, dan menghargai aspirasi semua pihak bukan hanya dari segi aturan, tetapi juga dari semangat kebersamaan.(ADV)