Eksistensi.id, Samarinda – Anggota Komisi II DPRD Kalimantan Timur (Kaltim), Sigit Wibowo, menyuarakan keprihatinan atas lambannya reformasi layanan publik di daerah.
Menurutnya, di era digital seperti sekarang, masyarakat semestinya sudah tidak lagi dipersulit oleh proses administrasi yang berbelit, terutama dalam layanan perpajakan, perizinan, hingga sertifikasi tanah.
“Pemerintah selalu dorong masyarakat bayar pajak, urus izin, dan taat aturan. Tapi sistemnya sendiri masih ribet. Itu kontradiktif,” kata Sigit, Rabu (16/7/25).
Politikus Fraksi PAN–NasDem itu menilai, meski sebagian layanan sudah terdigitalisasi seperti pembayaran pajak kendaraan secara daring—masih banyak hambatan klasik yang menyulitkan masyarakat.
Salah satunya, kebijakan wajib menyertakan KTP asli pemilik lama untuk balik nama kendaraan, yang menurutnya tidak relevan di tengah sistem data kependudukan yang kini terintegrasi.
“Kalau KTP lama sudah tidak ada, bagaimana masyarakat bisa selesaikan kewajiban? Harus ada solusi dari pemerintah, bukan malah dibiarkan macet,” tegasnya.
Sigit juga mengkritisi lambannya proses penerbitan izin usaha, khususnya di sektor galian C yang kini menjadi kewenangan pemerintah provinsi. Ia mencontohkan banyak pelaku usaha lokal yang akhirnya beroperasi tanpa legalitas karena perizinan terlalu rumit.
“Kalau dibiarkan, negara malah kehilangan potensi pendapatan daerah, sementara aktivitas tetap jalan. Ini harus ditata ulang,” katanya.
Tak hanya itu, pengurusan sertifikat tanah juga menjadi sorotannya. Beban Biaya Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang tinggi, menurutnya, menjadi penghambat utama bagi masyarakat berpenghasilan rendah untuk mendapatkan legalitas atas tanah mereka.
“Kalau biaya terlalu tinggi, warga enggan atau tidak sanggup urus sertifikat. Pemerintah daerah harus hadir dengan solusi, bukan hanya menagih kewajiban,” ujarnya.
Sigit menyoroti ketimpangan antara semangat reformasi layanan publik di level pusat dan implementasi di daerah. Menurutnya, kebijakan pusat yang pro-rakyat sering kali mandek di tataran teknis karena minimnya koordinasi, atau bahkan terhambat oleh praktik birokrasi yang tidak sehat.
“Program pusat seperti sertifikasi tanah gratis atau OSS (Online Single Submission) sudah bagus, tapi di lapangan masih banyak hambatan. Kadang tersendat hanya karena ada ‘titipan’ atau kepentingan lain,” tuturnya.
Sebagai langkah korektif, ia mengimbau masyarakat untuk mengurus administrasi secara mandiri agar terhindar dari praktik percaloan dan pungutan liar.
Ia juga mendesak agar instansi teknis memperbaiki sistem pelayanan dengan prinsip keterbukaan dan efisiensi.
“Kalau bisa diurus online atau lewat sistem digital, ya permudah. Jangan kasih alasan-alasan lama. Sekarang zamannya transparansi dan kecepatan,” tutupnya.(ADV)