Eksistensi.id, Samarinda — Anggota Komisi II DPRD Kalimantan Timur, Sigit Wibowo, melontarkan kritik keras terhadap lambannya pembenahan sistem pelayanan publik di daerah.
Ia menilai, di tengah kemajuan teknologi dan semangat reformasi birokrasi, masyarakat justru masih dihadapkan pada aturan-aturan kaku yang tidak sesuai dengan realita lapangan.
Salah satu sorotan utamanya tertuju pada persoalan administrasi perpajakan, perizinan usaha, dan pengurusan sertifikat tanah yang dinilai belum ramah terhadap masyarakat.
Menurutnya, sistem yang tidak adaptif justru memperumit warga dalam menjalankan kewajiban mereka.
“Sebagai warga negara, kita punya kewajiban bayar pajak. Tapi pemerintah juga punya kewajiban untuk memudahkan itu. Jangan masyarakat disuruh tertib, tapi sistemnya sendiri ketinggalan zaman,” tegas Sigit, Rabu (23/7/25).
Politikus Partai Amanat Nasional (PAN) itu mencontohkan rumitnya prosedur balik nama kendaraan atau pelunasan pajak kendaraan yang menunggak lebih dari lima tahun.
Syarat kepemilikan KTP asli pemilik lama disebutnya menjadi batu sandungan yang kerap menjebak masyarakat dalam situasi tak teratasi.
“Sering kali KTP pemilik lama sudah tidak ada, entah karena pindah, meninggal, atau faktor lain. Tapi masyarakat tetap dipaksa menyertakan itu. Harusnya bisa diganti dengan surat keterangan atau validasi lain,” jelasnya.
Sigit juga menyoroti kurangnya integrasi teknologi dalam pelayanan publik, padahal basis data kendaraan dan identitas pemilik sebenarnya telah tersimpan dalam sistem digital pemerintah. Menurutnya, tidak seharusnya warga dibebani dengan syarat-syarat manual di era digital seperti sekarang.
“Sekarang sudah zaman digital. Data kendaraan dan pemilik itu tinggal lacak. Tapi anehnya, sistem masih minta dokumen fisik dan KTP asli. Ini jelas tidak efisien dan memberatkan,” ungkapnya.
Ia pun mengingatkan soal potensi tumbuhnya praktik pungutan liar akibat sistem birokrasi yang lambat dan tidak transparan.
Oleh karena itu, ia mendorong masyarakat agar sebisa mungkin mengurus sendiri dokumen administrasi untuk meminimalisir interaksi yang membuka celah penyalahgunaan.
“Kalau masyarakat paham prosedur dan mengurus sendiri, potensi pungli bisa ditekan. Tapi syarat-syaratnya juga harus rasional. Pemerintah tidak bisa hanya menyuruh tertib tanpa menyediakan sistem yang mendukung,” tegasnya.
Sigit juga mewanti-wanti agar program reformasi pelayanan publik yang dicanangkan pemerintah pusat tidak hanya berhenti di level slogan.
Ia mengkritik lemahnya pelaksanaan di daerah yang kadang terhambat oleh kepentingan sempit dan praktik birokrasi tidak sehat.
“Jangan sampai di pusat semangatnya transparansi dan pelayanan prima, tapi di daerah malah mandek. Apalagi kalau ada titipan-titipan, ya ujung-ujungnya tidak selesai,” pungkasnya.(ADV)