Eksistensi.id, Samarinda — Program Sekolah Rakyat (SR) yang diluncurkan pemerintah pusat menuai kritik dari DPRD Kota Samarinda.
Anggota Komisi IV, Anhar, menilai penetapan lokasi program tersebut justru menunjukkan ketimpangan sosial yang belum terselesaikan, khususnya di wilayah perkotaan seperti Samarinda.
“Kalau suatu daerah ditetapkan jadi lokasi Sekolah Rakyat, itu bukan kebanggaan. Justru jadi tanda bahwa daerah tersebut masih masuk dalam kategori kemiskinan ekstrem,” ujar Anhar, Selasa (17/6/2025).
Ia menyebut, pendekatan program SR yang memprioritaskan warga miskin secara tidak langsung memperkuat stigma sosial.
Menurutnya, sistem pendidikan tidak seharusnya membagi siswa berdasarkan status ekonomi, melainkan menjadi ruang penyamarataan dan inklusi.
“Pendidikan itu seharusnya menyatukan, bukan menciptakan garis pemisah antara yang mampu dan tidak mampu,” tegas legislator dari Fraksi PDI Perjuangan itu.
Anhar pun menilai, jika tujuannya untuk memperluas akses pendidikan, seharusnya kebijakan dibuat tanpa syarat berbasis ekonomi.
Ia mencontohkan program GratisPol milik Pemprov Kaltim yang dinilai lebih tepat sasaran karena berlaku universal tanpa diskriminasi.
“GratisPol jauh lebih progresif. Siapa saja bisa mengakses pendidikan tanpa harus menyandang label miskin. Itu lebih adil dan bermartabat,” katanya.
Lebih lanjut, Anhar mempertanyakan alokasi anggaran untuk pembangunan Sekolah Rakyat. Menurutnya, dibanding membangun sekolah baru dengan segmentasi terbatas, dana yang besar lebih bermanfaat jika dikonversi menjadi beasiswa langsung kepada siswa.
“Buat apa sekolah dibangun tapi muridnya sudah dibatasi hanya untuk keluarga miskin? Lebih baik dananya dikucurkan dalam bentuk beasiswa yang transparan dan bisa langsung dirasakan manfaatnya,” jelasnya.
Ia juga menyinggung potensi penyimpangan anggaran dalam proyek pembangunan fisik yang kerap menjadi celah korupsi. Sebaliknya, bantuan tunai seperti beasiswa lebih mudah diawasi dan memiliki nominal yang jelas.
“Kalau siswa dapat Rp25 juta ya sebesar itu juga yang diterima. Risikonya kecil untuk disalahgunakan,” ujarnya.
Tak hanya itu, ia juga menyoroti narasi “bantuan pusat” yang digunakan dalam program ini. Menurutnya, alih-alih menjadi bukti perhatian pemerintah pusat, program ini seharusnya menjadi refleksi atas belum meratanya layanan pendidikan dasar yang layak di daerah.
“Kita jangan mudah terbuai narasi politis. Ini justru memperlihatkan bahwa akses pendidikan di Samarinda belum setara,” lanjutnya.
Diakhir, Anhar menyerukan agar pemerintah pusat mengevaluasi pendekatan yang digunakan dalam mendesain program-program pendidikan. Baginya, pendidikan ideal adalah yang menjangkau semua kalangan, bukan yang membatasi berdasarkan status sosial.
“Tidak boleh ada pendidikan eksklusif untuk yang mampu dan sekolah khusus untuk yang miskin. Pendidikan adalah hak semua orang,” pungkasnya.(adv dprd Samarinda)
penulis : Nurfa | Editor : Redaksi