Eksistensi.id, Samarinda — Di tengah tren penurunan angka kekerasan terhadap anak, DPRD Kota Samarinda mengingatkan bahwa data semata tidak cukup menggambarkan realitas di lapangan. Perlindungan anak, harus diwujudkan dalam bentuk tindakan konkret, bukan sekadar pencapaian administratif.
Wakil Ketua Komisi IV DPRD Samarinda, Sri Puji Astuti, menyatakan bahwa masih tingginya kasus kekerasan menunjukkan lemahnya kesadaran publik terhadap peran penting mereka dalam upaya perlindungan anak.
“Kita tidak bisa berharap semua titik diawasi aparat. Masyarakat harus berani melapor. Itu adalah langkah awal dan bentuk perlindungan nyata terhadap anak-anak,” tegas Sri Puji, Jumat (20/6/2025).
Ia menyoroti budaya bungkam yang kerap terjadi dalam lingkungan korban, terutama dari pihak keluarga. Rasa malu dan takut terhadap stigma sosial disebutnya justru memperpanjang siklus kekerasan.
“Ketika keluarga memilih diam, maka pelaku mendapat ruang aman. Ini bukan soal malu, ini soal tanggung jawab terhadap anak yang menjadi korban,” jelasnya.
Berdasarkan data dari Simfoni PPA, tercatat 189 kasus kekerasan anak di Samarinda sepanjang tahun 2023. Angka tersebut sempat turun menjadi 150 kasus di 2024, namun hingga Mei 2025, sudah ada 87 laporan baru dengan pelecehan seksual sebagai bentuk kekerasan paling dominan dan anak perempuan sebagai korban terbanyak.
Namun, bagi Sri Puji, angka ini belum menggambarkan keseluruhan masalah.
“Selama kekerasan terhadap anak masih dianggap isu domestik atau urusan pribadi, maka perubahan tidak akan terjadi. Kita harus hentikan pola pikir ini,” ujarnya.
Komisi IV DPRD Samarinda, lanjutnya, mendorong penguatan sinergi lintas sektor dalam penanganan kasus mulai dari aparat penegak hukum, dinas terkait, hingga sekolah sebagai garda depan deteksi dini kekerasan.
Ia juga menekankan bahwa sekolah tidak boleh menjadi ruang aman bagi pelaku hanya karena status atau jabatan mereka.
“Tidak cukup hanya dipindahkan atau diberi teguran. Jika terbukti, harus ada sanksi hukum yang jelas. Anak-anak tidak boleh dibiarkan berada dalam lingkungan yang membahayakan,” tandas Sri Puji.
Lebih jauh, ia menilai bahwa perlindungan anak harus menjadi prioritas dalam kebijakan pemerintah daerah, bukan hanya menjadi bagian dari laporan tahunan atau jargon kota layak anak.
“Anak adalah kelompok paling rentan. Kalau negara dan masyarakat gagal melindungi mereka, maka kita gagal sebagai peradaban,” pungkasnya.(ADV)