Eksistensi.id, Samarinda – Penerapan kebijakan Zero Over Dimension and Over Loading (Zero ODOL) di Kalimantan Timur (Kaltim) tak bisa hanya mengandalkan penindakan di lapangan.
Perubahan pola pikir di kalangan sopir dan pelaku usaha angkutan barang justru menjadi faktor penentu keberhasilannya.
Hal ini disampaikan oleh Anggota Komisi III DPRD Kaltim, Subandi, yang menilai bahwa pendekatan kultural jauh lebih penting ketimbang sekadar razia.
“Kalau mindset sopir dan pengusaha masih melihat ODOL sebagai jalan pintas, maka program ini akan sulit berhasil. Kita harus mulai dari perubahan cara pandang mereka,” ujarnya, Senin (14/7/25).
Operasi Zero ODOL telah memasuki fase penindakan sejak 14 Juli 2025, setelah tahap sosialisasi dan pembinaan digelar sepanjang Juni hingga awal Juli.
Subandi menegaskan, momentum ini harus digunakan bukan hanya untuk memberi sanksi, tapi juga untuk membangun kesadaran jangka panjang.
Menurutnya, sebagian sopir masih terjebak dalam tekanan operasional dari pemilik usaha yang menargetkan efisiensi biaya lewat muatan berlebih. Padahal, praktik tersebut berisiko besar, baik secara hukum maupun keselamatan.
“Para sopir itu sering kali hanya menjalankan perintah. Kalau pengusahanya tidak diberi pemahaman menyeluruh, maka pelanggaran akan terus berulang. Jadi pembinaan harus menyasar dua arah,” ungkap Subandi.
Ia menambahkan, pengawasan di jalan hanyalah ujung dari rantai panjang persoalan. Inti masalahnya ada pada kebiasaan industri angkutan barang yang belum menjadikan standar keselamatan sebagai prioritas utama.
“Kita butuh pergeseran budaya dari mengejar kuantitas ke kepatuhan aturan. Ini bukan hanya tanggung jawab Dishub, tapi perlu dukungan dari asosiasi transportasi dan juga para pemilik armada,” ujarnya.
Politikus dari PKS itu juga mengusulkan agar dilakukan pendekatan komunitas, termasuk pelatihan, penyuluhan, dan kolaborasi dengan organisasi sopir serta perusahaan logistik.
“Kalau yang bicara itu sesama sopir, sesama pengusaha, pesan akan lebih diterima. Pemerintah tinggal memfasilitasi ruang dialog dan edukasinya,” ucapnya.
Dengan dukungan pendekatan sosial yang tepat, Subandi meyakini bahwa Zero ODOL bisa menjadi lebih dari sekadar penegakan aturan melainkan transformasi budaya di sektor angkutan barang di Kaltim.(ADV)
Penulis : Nurfa