Eksistensi.id, Samarinda — Anggota DPRD Kalimantan Timur (Kaltim),Sugiyono, menegaskan bahwa solusi jangka panjang untuk menyelamatkan Sungai Mahakam dari banjir dan sedimentasi tidak cukup hanya dengan pengerukan.
Menurutnya, reboisasi dan perlindungan kawasan hulu sungai justru merupakan kunci utama dalam mengendalikan bencana ekologis yang terus berulang.
“Kalau bicara pengerukan Mahakam, kita harus realistis. Sungai ini terlalu besar dan panjang. Belum ada satu pun gubernur yang berhasil menyentuh persoalan sedimentasinya secara menyeluruh,” ujar Sugiyono, Selasa (24/6/25).
“Solusinya bukan sekadar mengeruk, tapi menahan air sejak dari hulu, dengan memperkuat kawasan resapan air,” tuturnya.
Kondisi banjir yang melanda sejumlah kawasan rendah di Samarinda akibat naiknya debit Sungai Mahakam menjadi bukti bahwa persoalan ini perlu penanganan sistemik.
Sugiyono menilai pengerukan hanya cocok diterapkan di titik-titik tertentu yang strategis dan mengalami pendangkalan parah, seperti kawasan Teluk Kahabayi di depan Islamic Center.
Namun, jika pengerukan dilakukan tanpa diimbangi pemulihan kawasan hulu, maka upaya tersebut hanya akan menjadi solusi sementara.
“Kalau terus-terusan menggunduli hutan, ya air hujan langsung mengalir ke sungai tanpa diserap tanah. Itu yang mempercepat sedimentasi. Maka logisnya, ya kita harus tanam pohon lagi di daerah tangkapan air,” tegasnya.
Sugiyono mendorong kesadaran kolektif seluruh pihak, termasuk masyarakat, agar turut serta menjaga kawasan resapan air melalui kegiatan penghijauan. Ia mengingatkan bahwa kerusakan lingkungan di daratan secara langsung memengaruhi daya dukung sungai di wilayah hilir.
“Jangan sampai kita baru ribut ketika Mahakam meluap. Padahal akar masalahnya justru ada di darat. Kalau hutan rusak, sungai pasti ikut rusak. Ini logika sederhana yang sering dilupakan,” jelasnya.
Hingga kini, belum ada upaya pengerukan besar-besaran secara menyeluruh yang dilakukan pemerintah terhadap Sungai Mahakam. Sugiyono menilai, pendekatan yang terlalu terfokus pada proyek pengerukan tanpa pengendalian kawasan hulu hanya akan menguras anggaran tanpa hasil jangka panjang.
Ia menyarankan agar pemerintah mulai mengalihkan fokus pada penataan tata air dan reboisasi, yang justru lebih murah dan memberikan efek ekologis yang luas.
Sebagai catatan, berdasarkan data dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Kaltim, lebih dari 40 persen hutan di Kaltim telah mengalami kerusakan akibat tambang dan alih fungsi lahan. Kondisi ini turut memperparah tingkat sedimentasi di Sungai Mahakam dari tahun ke tahun.
Akibatnya, kota-kota di wilayah hilir seperti Samarinda kini berada dalam ancaman banjir musiman yang semakin parah.
“Kalau kita mau menyelamatkan Mahakam dan kota-kota di sekitarnya, kita harus mulai dari hulu. Reboisasi bukan pilihan, tapi keharusan,” tutupnya. (Adv)
Penulis : Nurfa | Editor : Redaksi