Eksistensi.id, Samarinda – Penurunan drastis Dana Bagi Hasil (DBH) dari sektor pertambangan dan kebijakan efisiensi anggaran yang diberlakukan lewat Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025 telah mempersempit ruang fiskal Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim).
Menanggapi hal ini, DPRD Kaltim mendorong pemerintah daerah untuk tidak terpaku pada sektor tambang semata dan mulai menggali potensi pendapatan alternatif yang lebih beragam dan berkelanjutan.
Anggota Komisi II DPRD Kaltim, Sapto Setyo Pramono, menilai bahwa kondisi perlambatan ekonomi saat ini menuntut langkah konkret untuk mengatasi penurunan penerimaan daerah.
“Kita ingin mencoba potensi-potensi pendapatan dari sektor lain. Artinya memang ada APBD kita mengalami perlambatan, yang diakibatkan oleh Perpres No.1 Tahun 2025 itu, daya beli, serapan. Karena itu, kita juga ingin mengetahui sejauh mana APBD Perubahan 2025 dan prognosis murni 2026 bisa kita petakan,” ungkap Sapto, Senin (30/6/25).
Dampak kebijakan efisiensi anggaran tersebut juga dirasakan pada Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang mulai menunjukkan tren penurunan. Tekanan ini diperparah oleh merosotnya harga batu bara, yang berdampak langsung pada sektor pertambangan sebagai penyumbang utama DBH. Salah satu yang paling terdampak adalah DBH dari sektor IUPK sebesar 1,5 persen.
DPRD Kaltim sendiri berencana memanggil sejumlah perusahaan tambang guna mengkaji lebih dalam penyebab penurunan tersebut.
Menurut Sapto, penting untuk mengetahui apakah penurunan terjadi karena faktor harga pasar atau karena penurunan volume produksi.
Tidak hanya itu, pihak legislatif juga mempertanyakan kepastian dari pendapatan personal income (PI) sebesar 10 persen yang menjadi bagian dari struktur penerimaan daerah.
Sapto menyebut bahwa hingga kini belum ada kejelasan dari Biro Ekonomi mengenai hal tersebut.
“Yang jelas tadi dari BPKAD dan Bapenda menjelaskan berapa dana transfer kita, mana yang bisa terpakai, mana yang sudah terealisasi. Tapi soal PI 10 persen, kita masih menunggu kepastian yang akan dibahas dalam rapat anggaran,” jelasnya.
Selain sektor tambang, DPRD Kaltim turut mendorong optimalisasi penerimaan dari Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP), khususnya dari sektor Penggunaan Kawasan Hutan (PKH) dan Pajak Kehutanan Tambang (PKT).
Sapto menyoroti bahwa hingga saat ini, meskipun aktivitas tambang dan kerusakan hutan terjadi di Kaltim, penerimaan dari sektor tersebut belum dirasakan oleh daerah.
“Dan memang itu sektor yang rusaknya di sini, hancurnya di sini, tapi pemasukan tidak ke sini. Itu yang akan kita perjuangkan. Kami sudah minta kepada Menteri ESDM untuk menyampaikan hal ini secara resmi ke Gubernur,” tegasnya.
Situasi fiskal yang menantang ini pun berdampak pada perencanaan anggaran ke depan. Proyeksi APBD Kaltim tahun 2026 hanya berada di angka sekitar Rp18 triliun, turun dari sebelumnya yang diperkirakan mencapai Rp20 triliun. Pemerintah daerah terpaksa melakukan berbagai langkah efisiensi, termasuk memangkas biaya pelaksanaan agenda rutin. Salah satu contohnya adalah Musrenbang, yang kini digelar secara lebih sederhana di Lamin Etam, bukan lagi di luar kota.
Meski menghadapi tekanan fiskal yang cukup berat, DPRD Kaltim tetap berkomitmen mencari solusi jangka panjang.
“Diversifikasi sumber penerimaan menjadi prioritas utama guna memastikan pembangunan daerah tetap berjalan dan kesejahteraan masyarakat terus meningkat,” tutupnya.(ADV)