Eksistensi.id, Samarinda – Di tengah geliat pembangunan yang kian masif di Kota Samarinda, muncul sorotan tajam dari kalangan legislatif yang mempertanyakan efektivitas arah kebijakan pemerintah kota.
Anhar, anggota DPRD Samarinda, menyampaikan keprihatinan atas pola pembangunan yang dinilainya belum menjawab kebutuhan riil masyarakat, khususnya dalam aspek lingkungan dan infrastruktur dasar.
Menurutnya, proyek-proyek besar yang dikerjakan pemerintah kota belum disertai perencanaan yang matang terhadap aspek pendukung seperti sistem drainase dan tata ruang. Dampaknya, infrastruktur yang baru selesai dibangun justru rentan rusak saat musim hujan.
Ia menyinggung beberapa insiden infrastruktur rusak pascahujan deras yang seolah menjadi bukti lemahnya antisipasi dan perencanaan dari pihak terkait.
“Setiap kali hujan deras, selalu ada kerusakan. Terowongan longsor, genangan muncul lagi di tempat yang sama. Ini bukan kejadian baru,” ucap Anhar, Sabtu (28/6/25).
Lebih jauh, ia menyoroti persoalan banjir yang tak kunjung tertangani karena masih banyak pembangunan lahan dilakukan tanpa memperhatikan prinsip konservasi. Anhar menduga proses pematangan lahan yang berlangsung selama ini justru difasilitasi dengan izin resmi, namun tanpa kontrol yang ketat dari Pemkot Samarinda.
Sorotan juga mengarah pada proyek drainase yang dinilai tidak efektif. Banyak parit tertimbun atau tenggelam akibat perbedaan ketinggian antarbangunan yang tak diperhitungkan secara teknis. Hal ini, menurut Anhar, menunjukkan lemahnya pengawasan terhadap pelaksanaan proyek.
“Kalau paritnya saja lebih rendah dari badan jalan, bagaimana bisa fungsinya optimal? Kita sedang bicara soal pengawasan yang lemah, bukan hanya desain yang keliru,” tegasnya.
Tak hanya itu, ia juga menyampaikan kritik terhadap lambannya pengembangan infrastruktur dasar lainnya, seperti jaringan listrik dan penerangan jalan, yang justru menyumbang pendapatan daerah dalam jumlah besar. Ketimpangan ini membuat upaya pembangunan terlihat timpang dan tidak berkeadilan.
Bagi Anhar, ukuran sukses sebuah pembangunan bukan sekadar gedung tinggi atau proyek bernilai besar. Ia menekankan bahwa manfaat langsung bagi masyarakat harus menjadi tolok ukur utama.
“Boleh saja kita bangun pasar megah, tugu indah, atau terowongan mahal. Tapi jika banjir masih terjadi, jalan rusak lagi, dan warga hidup dalam gelap tanpa penerangan, itu semua tak ada artinya,” tuturnya.
Kritik juga ia tujukan pada pembangunan patung pesut senilai lebih dari satu miliar rupiah. Proyek itu disebutnya tidak memiliki urgensi yang jelas dan justru mencerminkan pola pembangunan yang tidak berorientasi pada kebutuhan rakyat.
“Kalau tujuannya memperindah kota, seharusnya dimulai dari yang paling dibutuhkan warga. Apa manfaat nyata dari patung itu? Bentuknya pun belum tentu mencerminkan pesut yang sesungguhnya,” pungkasnya.(ADV)